Tradisi Menenun di Jawa Barat

Tradisi Menenun di Jawa Barat


Pada saat Dayang Sumbi tengah asyik menenun, tiba-tiba taropongnya (alat penggulung benang yang terbuat dari bambu) terlepas dari genggamannya. Mungkin karena malas atau tubuhnya yang lemas, ia pun berseloroh bahwa barang siapa yang mau mengambilkan taropong tersebut untukya, maka akan dijadikan suami kalau ia adalah seorang lelaki, dan kalau ia perempuan maka akan dijadikannya saudara.

Secara kebetulan, si Tumang anjingnya yang setia memungut taropong itu dan menyerahkannya kepada dayang sumbi lalu duduk dihadapannya sambil menatapnya dalam-dalam. Seketika, dayang sumbi menyesali tindakannya tersebut.

Legenda tentang dayang sumbi dikenang oleh Bujangga Manik (1336-1342), sang rahib Sunda yang tersohor akan pengelanaannya pada abad ke-15. Dari kisah tersebut tentu bisa dikatakan bahwa tradisi menenun sudah ada di tatar Sunda jauh sebelum itu. Juga terdapat dalam berbagai dongeng dan legend, juga tradisi lisan.

Bahkan ada banyak peribasa Sunda yang berkaitan dengan menenun, seperti ngeheuyeuk dayeuh yang memilliki makna menata pemerintahan, juga paheuyeuk-heuyeuk leungeun yang artinya saling menenun tangan atau saling menjaga solidaritas. Dalam pidato penutup pun sering disebutkan bobo sapanon carang sapakan yang artinya putus satu mata jala, kurang selembar pakan tenunan.



Tome Pires dalam Suma Oriental mengungkapkan bahwa kerajaan Sunda yang pernah dikunjunginya sering mengimpor banyak kain kasar sampai ke Malaka. Saat itu, kerajaan ini aktif berdagang dengan Sakampung (daerah dengan katun melimpah), Tulang Bawang, dan Siam. Bahkan orang-orang Sunda ini juga akan mengimpor berbagai jenis tekstil , khususnya yang berasal dari Keling dan Cambay.

Berdasarkan sumber lokal, Tanah Sunda dulunya sangat kaya akan berbagai jenis kain batik, baik yang sudah diolah maupun belum diolah menjadi pakaian, di antaranya adalah tapih, lungsir, kasang, boeh, sutra, aben, poleng, dodot, simbut, cawet, dan daluwang.

Perilaku berpakaian sudah dilakukan oleh masyarakat Sunda zaman dulu dan sudah dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi manusia atau upageuing. Hal ini sejalan dalam kitab Sang Hyang Siksa Kandang Karesian (1518 M). Upageuing sendiri memiliki arti kesadaran tinggi, sedangkan paling tertinggi adalah parigeuing atau kesadaran puncak yang dimiliki manusia.

Geuing adalah kesadaran paling rendah, seperti kesadaran untuk makan maupun minum sedangkan kesadaran yang lebih tinggi disebut upageuing yaitu kesadaran yang membedakan manusia dengan binatang, dalam hal ini berpakaian atau menutupi aurat. Sedangkan parigeuing adalah kesadaran tertinggi manusia terhadap manusia, dalam hal ini berkata penuh sopan-santun.

Bagi masyarakat Sunda di masa lalu, perilaku berpakaian menjadi cerminan dalam beretika di masyarakat banyak di mana seorang perempuan wajib menutupi aurat dadanya dengan aben. Begitu juga ketika seorang akan bertemu petinggi, maka wajiblah berpakaian lengkap (cangcut pangadwa) dan rapih.

Menenun di masa lalu selain untuk dijual, juga digunakan sendiri maupun diberikan sebagai hadiah. Dalam kisah Bujangga Manik, Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana menyuruh Jompong Larang untuk memberikan hadiah yang terdiri dari seuseupahan sirih pinang, keris, baju, dan kain hasil tenunannya yang sangat indah dan memiliki aroma yang sangat wangi.

Tidak hanya itu saja, hadiah kain tenun tidak hanya diberikan untuk calon pasangan, tetapi juga sering digunakan sebagai pemberian bagi seorang yang dianggap telah berjasa. Bujangga Manik memberikan sehelai kain kepada Nakhoda kapal yang telah membawanya hingga ke Bali dengan selamat.

Karena memiliki sifat yang khusus itulah, kain tenun memiliki nilai yang sama dengan hewan ternak, sehingga sering dijadikan sebagai barang pusaka keluarga yang diwariskan secara turun temurun.

Dalam bahasa Sunda, menenun disebut Ngeuyeuk, sedangkan alat untuk menenuh disebut heuyeuk. Adapun orang yang ahli menenun disebut pangeuyeuk. Menenun biasanya dilakukan oleh kaum perempuann, mereka akan melakukannya di balai khusus atau di teras rumah. Balai khusus menenun ini disebut Bale Sipangeuyeukan, atau Bale Keusik Paninunan. Biasanya balai ini terpisah dari bangunan utama / rumah, dan tingginya pun mencapai tiga orang dewasa.

Meskin aktivitas menenun telah dilakukan oleh masyarakat Sunda sejak zaman dulu, namun ironisnya kini kegiatan tersebut sudah tidak lagi banyak dilakukan. Banyak orang yang lebih memilih menjadi konsumen, dengan membeli kain-kain impor yang mahal atau pakaian bermerek. 

Hanya sedikit sekali daerah di Jawa Barat yang masih melanjutkan tradisi ngeuyeuk ini. Namun demikian, aktivitas menenun masih bisa ditemukan di daerah Kanekes (Baduy), di Banten Selatan.


0 Response to "Tradisi Menenun di Jawa Barat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel