
Mitos Buaya buntung Sungai Cipakancilan
Maret 22, 2025
Comment
Kisah buaya buntung penghuni Sungai Cipakancilan berawal dari sebuah kampung yang berada di dekat aliran sungai Cipakancilan, khususnya yang melintasi daerah Bubulak, Pondok Rumput dan Cimanggu.
Pada zaman dahulu, sungai Cipakancilan sangat jernih airnya dan banyak penduduk sekitar aliran sungai memanfaatkannya untuk mandi, berenang, mencuci hingga mencari ikan.
Di pinggir sungai ada sebuah mushola sederhana yang berdekatan dengan tempat pemandian umum. Tidak jauh dari mushola tersebut, ada sebuah rumah yang dihuni oleh pasangan paruh baya Ki Mursin dan istrinya, Ni Endu.
Pasangan suami istri ini selalu hidup rukun, meski keduanya berbeda dari sifat maupun karakternya. Ki Mursin adalah orang yang sabar dan pendiam, sedangkan istrinya memiliki sifat pemarah, tak sabaran, ketus, dan selalu mengeluh.
Pekerjaan Ki Mursin adalah penebang pohon, namun karena profesinya tidak terlalu dibutuhkan setiap hari maka ia pun bekerja serabutan. Karena itu pula, ia sering pulang tidak membawa uang meskipun telah berkeliling dari kampung ke kampung mencari orang yang mau menggunakan jasanya menebang pohon.
Meskipun demikian, rumah tangga Ki Mursin dan istrinya tidak pernah merasa kekurangan. Hanya saja ada yang mengganjal dalam benak keduanya, yaitu keinginan untuk memiliki anak.
Keinginan untuk punya anak begitu kuatnya sampai-sampai jiwa istrinya mulai tertekan. Tingkah lakunya berubah menjadi kasar, sering bersumpah serapah dan takabur. Sedangkan Ki Mursin hanya bisa pasrah menghadapi sang istri.
Nasib baik ternyata berpihak kepada pasangan suami istri yang sudah cukup berumur itu. Pada suatu hari, Ni Endu merasakan perutnya sangat mual ketika terbangun di pagi hari. Kondisi yang sama dirasakannya juga keesokan harinya, bahkan hari-hari berikutnya perasaan mual mulai sering dialaminya.
![]() |
Foto udara kawasan Cimanggu tahun 1930-1940 |
Setelah diperiksa oleh paraji atau dukun beranak, ternyata Ni Endu tengah mengandung. Hal ini sontak saja membuat Ni Endu kegirangan. Sang suami yang mengetahui istrinya tengah hamil pun merasa sangat berbahagia karena harapannya untuk memiliki anak akan terkabulkan.
Seperti mendapatkan suntikan semangat, Ki Mursin jadi lebih bersemangat dalam mencari nafkah sebagai penebang pohon. Bahkan kini, profesinya mulai bertambah jadi seorang tukang dan pencari rumput.
Sifat Ni Endu pun berubah 360 derajat, dari yang tadinya suka mengeluh dan suka melamun kini menjadi perempuan yang lebih ceria dengan raut kebahagiaan terpancar di wajahnya. Bulan demi bulan dilalui pasangan suami istri itu, sampai tibalah saat yang ditunggu-tunggu.
Di tengah dinginnya angin malam, Ibu Ea yang berprofesi sebagai dukun beranak sudah tiba di rumah Ki Mursin untuk membantu Ni Endu melahirkan. Namun betapa terkejutnya ia, saat mendapati sosok yang keluar dari rahim Ni Endu.
Sosok itu tidak terlihat seperti bayi manusia, tetapi wujudnya lebih seperti kadal namun tidak bersisik. Anehnya lagi, tidak terdengar suara tangis bayi yang terdengar hanya suara Ki Mursin dan Bu Ea yang tidak henti-hentinya melantunkan takbir kebesaran Allah sang pencipta. Apapun yang akan diterimanya, Ki Mursin sudah pasrah dan berserah diri kepada yang Maha Kuasa karena ia sudah dianugerahi bayi meski dalam wujud lain.
Esok paginya, para tetangga yang mendengar Ni Endu sudah melahirkan beramai-ramai mendatangi rumahnya untuk memberikan selamat sekaligus ingin melihat kondisi si bayi yang selama ini mereka idam-idamkan.
Tetapi setelah melihat bayi tersebut, banyak tamu-tamunya yang lirih mengucapkan kebesaran Allah. Kabar tentang Ni Endu yang melahirkan bayi yang lain daripada yang lain itu pun menyebar hingga ke seantero kampung.
Pada hari pertama, bayi yang masih merah dan terbungkus kain panjang itu belum terlihat bergerak-gerak, baru setelah beberapa hari kemudian bayi itu mulai menggeliat. Seiring dengan hal tersebut, Ki Mursin dan Ni Endu bermimpi bahwa bayi yang telah dilahirkannya itu meminta agar disimpan di dalam sebuah bak air yang terbuat dari tanah liat.
Dalam mimpinya ada suara yang berpesan agar keduanya tidak sedih karena semua itu sudah merupakan kehendak Tuhan. Pada paginya, Ki Mursin menceritakan perihal mimpi itu pada istrinya, ternyata istrinya pun mengalami mimpi yang sama.
Pada malam ketujuh, pasangan suami istri itu pun kembali bermimpi. Kali ini si bayi meminta agar diceburkan ke Sungai Pakancilan. Namun sebelum dimasukkan ke sungai, ia minta agar ekornya nanti dipotong.
Dalam mimpinya itu juga, si bayi berpesan jika orang tuanya merasa rindu atau membutuhkan bantuan maka mereka bisa memanggilnya dengan nama “si buntung”. Dengan perasaan sedih harus berpisah dengan anak yang sudah lama dinanti-nantikannya itu, pasangan suami istri itu pun menyanggupi permintaan si bayi.
Setelah meletakkan sang bayi dalam bak yang berisi air, tangan Ki Mursin mulai memotong ekor yang ada di tubuh bayi tersebut. Dengan rasa sedih yang dalam, Ki Mursin dan Ni Endu melepaskan si buntung ke sungai Pakancilan.
Di sungai, si buntung mulai menggeliat lalu bergerak seperti berenang dan menghilang dari pandangan. Sejak peristiwa tersebut, hubungan antara si bayi dengan kedua orang tuanya hanya berlangsung melalui mimpi-mimpi saja.
Namun dalam mimpi mereka, sosok si buntung kini hadir dalam wujud sempurna sebagaimana anak manusia pada umumnya. Hal ini tentu tidak membuat Ki Mursin dan istrinya bersedih lagi, tetapi keduanya justru menganggap telah mendapatkan keistimewaan dari sang pencipta.
Waktu terus berlalu, si buntung tetap hadir dalam mimpi-mimpi Ki Mursin dan Ni Endu sebagai seorang anak lelaki yang lucu dengan pakaian putih dan berkopiah. Sedangkan dalam dunia nyata, si buntung dalam wujud buaya kerap menampakkan dirinya kepada penduduk sekitar.
Namun sesuai dengan yang diamanatkan Ki Mursin kepada para penduduk sekitar jika menjumpai si buntung dalam wujud buaya yang menakutkan maka mereka cukup berkata, “Buntung jangan mengganggu”.
Hal ini juga pernah dialami oleh seorang penduduk sekitar Pakancilan yang saat itu hendak mandi di sungai. Saat melihat ada buaya, ia segera berkata “Buntung pergi, jangan di sini, kalau mau berjemur di sana saja” sambil menunjuk ke seberang sungai.
Dan benarlah, sehabis berkata itu, buaya itu menghilang lalu muncul kembali di seberang sungai. Di tempat yang ditunjuk oleh orang itu, tampak seorang laki-laki berpakaian putih sedang duduk-duduk di pinggiran sungai.
Kisah buaya buntung penghuni Cipakancilan sangatlah menarik untuk ditelusuri, apalagi cerita ternyata berkembang tidak hanya di masyarakat sekitaran Cimanggu saja, karena ada kisah lain yang menyebutkan kalau si buntung sering bertarung dengan buaya-buaya pendatang, dan sering berkelana hingga ke Sungai Ciliwung, Cisadane, Citarum, bahkan sampai ke Cimandiri di Sukabumi.
Tidak hanya itu saja, ada juga yang percaya kalau si buntung sudah menjadi penghuni di salah satu sungai yang ada di Kota Jakarta.
0 Response to "Mitos Buaya buntung Sungai Cipakancilan"
Posting Komentar