
Letusan Gunung Salak 1699
Maret 22, 2025
Comment
Pada 5 Januari 1699, Malam yang biasanya hening di Buitenzorg sontak terganggu oleh suara dentuman keras dari arah Gunung Salak. Tanah yang dipijak seketika bergetar hebat menjadikan malam kian mencekam.
Meletusnya Gunung Salak pada tahun 1699 diceritakan telah memuntahkan bebatuan besar dan batang-batang pohon yang terbawa aliran lumpur lahar yang mengalir melalui Sungai Ciliwung dan Cisadane.
Dampak letusan Gunung Salak ini pun tercatat dalam sebuah catatan bertahun 1702 yang menuliskan akibat gempa dan letusan besar ini, dataran tinggi di antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton Kerajaan Sunda yang asalnya berupa hutan besar, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka tanpa ada pepohonan di sekitarnya.
Permukaan tanah menjadi rata tertutup tanah liat yang halus. Di beberapa lokasi tanahnya bahkan telah mengering dan mengeras sehingga kita dapat berjalan di atasnya. Namun di lain tempat, orang bisa terbenam sedalam satu kaki di dalam lumpur tanah liat tersebut.
Catatan ini juga mengungkapkan bahwa letusan dan gempa yang terjadi pada malam hari tahun 1699 ini telah menyebabkan longsor besar di beberapa puncak Gunung Salak.
Berita lain menyebutkan tersumbatnya aliran Ciliwung di dekat muara oleh lumpur hingga beratus-ratus meter jauhnya. Untuk membersihkan sumbatan tersebut maka diutuslah van Riebeeck. Sebagai bayaran atas pembersihan itu, Riebeeck meminta bagian tanah yang berada di daerah Bojong Manggis dan Bojong Gede.
Untuk meneliti sejauh mana dampak dan kerusakan akibat gempa ini, VOC mengirimkan tim ekspedisi Ram & Coops pada tahun 1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari hasil survey ditemukan bahwa aliran Cikeumeuh masuk dan terbenam hingga ke dalam tanah, dan longsoran di puncak Gunung Salak membentuk patahan dan sobekan yang menghadap ke arah barat laut.
Tidak diketahui pasti apakah ketika terjadinya gempa dan letusan Gunung Salak tersebut sudah ada penduduk di wilayah tersebut, serta bagaimana nasibnya saat peristiwa tersebut terjadi khususnya mereka yang bermukim di dekat aliran Sungai Ciliwung. Hanya saja, pada tahun 1701, ada beberapa penduduk Kampung Baru yang turut serta dalam ekspedisi tersebut.
Begitu pun Abraham van Riebeeck tidak memberikan laporan maupun catatan mengenai korban jiwa maupun kerusakan dari gempa dan letusan tersebut. Hal ini menjadi salah satu penunjuk bahwa pada saat itu jumlah penduduk masih sangat sedikit, dan sama sekali tidak terganggu baik oleh gempa maupun letusannya.
Untuk memudahkan tugasnya, pada tahun 1704 van Riebeeck mendirikan sebuah pondok peristirahatan di daerah Batutulis karena ia beranggapan kondisi Gunung Salak sudah aman dan daerah tersebut masih aman untuk ditinggali.
Peristiwa meletusnya Gunung Salak kembali terjadi pada tahun 1761 dan 1780, akan tetapi letusan tersebut tidak begitu kuat dibandingkan letusan yang terjadi sebelumnya di tahun 1699.
Dampak letusan Gunung Salak ini pun tercatat dalam sebuah catatan bertahun 1702 yang menuliskan akibat gempa dan letusan besar ini, dataran tinggi di antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton Kerajaan Sunda yang asalnya berupa hutan besar, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka tanpa ada pepohonan di sekitarnya.
Permukaan tanah menjadi rata tertutup tanah liat yang halus. Di beberapa lokasi tanahnya bahkan telah mengering dan mengeras sehingga kita dapat berjalan di atasnya. Namun di lain tempat, orang bisa terbenam sedalam satu kaki di dalam lumpur tanah liat tersebut.
Catatan ini juga mengungkapkan bahwa letusan dan gempa yang terjadi pada malam hari tahun 1699 ini telah menyebabkan longsor besar di beberapa puncak Gunung Salak.
Berita lain menyebutkan tersumbatnya aliran Ciliwung di dekat muara oleh lumpur hingga beratus-ratus meter jauhnya. Untuk membersihkan sumbatan tersebut maka diutuslah van Riebeeck. Sebagai bayaran atas pembersihan itu, Riebeeck meminta bagian tanah yang berada di daerah Bojong Manggis dan Bojong Gede.
Untuk meneliti sejauh mana dampak dan kerusakan akibat gempa ini, VOC mengirimkan tim ekspedisi Ram & Coops pada tahun 1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari hasil survey ditemukan bahwa aliran Cikeumeuh masuk dan terbenam hingga ke dalam tanah, dan longsoran di puncak Gunung Salak membentuk patahan dan sobekan yang menghadap ke arah barat laut.
Tidak diketahui pasti apakah ketika terjadinya gempa dan letusan Gunung Salak tersebut sudah ada penduduk di wilayah tersebut, serta bagaimana nasibnya saat peristiwa tersebut terjadi khususnya mereka yang bermukim di dekat aliran Sungai Ciliwung. Hanya saja, pada tahun 1701, ada beberapa penduduk Kampung Baru yang turut serta dalam ekspedisi tersebut.
Begitu pun Abraham van Riebeeck tidak memberikan laporan maupun catatan mengenai korban jiwa maupun kerusakan dari gempa dan letusan tersebut. Hal ini menjadi salah satu penunjuk bahwa pada saat itu jumlah penduduk masih sangat sedikit, dan sama sekali tidak terganggu baik oleh gempa maupun letusannya.
Untuk memudahkan tugasnya, pada tahun 1704 van Riebeeck mendirikan sebuah pondok peristirahatan di daerah Batutulis karena ia beranggapan kondisi Gunung Salak sudah aman dan daerah tersebut masih aman untuk ditinggali.
Peristiwa meletusnya Gunung Salak kembali terjadi pada tahun 1761 dan 1780, akan tetapi letusan tersebut tidak begitu kuat dibandingkan letusan yang terjadi sebelumnya di tahun 1699.
GEMPA BUMI DI BUITENZORG
Pada tahun 1834, terjadi gempa bumi besar yang melanda Buitenzorg (Bogor). Karena besarnya kekuatan gempa saat itu, sebagian bangunan istana Bogor hancur oleh guncangannya. Gempa tersebut kemungkinan berasal dari aktivitas vulkanik di Gunung Salak, namun setelah itu tidak tercatat letusan lagi.

Bangunan Istana yang rusak oleh Gempa tahun 1834
Gunung Salak adalah gunung berapi strato tipe A. Gunung yang memiliki beberapa puncak ini tercatat beberapa kali mengeluarkan letusannya yaitu antara 1668 s/d 1699, 1780,1902 s/d 1903, dan 1935. Adapun letusan terakhir Gunung Salak terjadi pada tahun 1938 yang berupa erupsi freatik yang terjadi di kawasan Kawah Cikuluwung Putri.
Gunung Salak berada di ketinggian 2221 mdpl dan memiliki beberapa puncak. Puncak paling tinggi dikenal sebagai puncak Salak 1, sedangkan puncak Salak 2 memiliki ketinggian 2180 mdpl, dan puncak Sumbul setinggi 1926 mdpl.
Bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya warga asli Bogor. Gunung Salak adalah juga gunung yang penuh mitos dan misteri. Terkenal dengan keangkerannya dan memiliki keterkaitan sejarah dengan Kerajaan-kerjaaan Sunda di zaman dahulu.
0 Response to "Letusan Gunung Salak 1699"
Posting Komentar