Konflik cinta segitiga Cirebon vs Sumedang

Konflik cinta segitiga Cirebon vs Sumedang



Ratu Harisbaya adalah istri kedua penguasa Cirebon. Di samping itu, ia juga adalah mantan kekasih dari penguasa Sumedang Larang. Inilah yang kemudian menjadi kisah cinta segitiga pemicu konflik Sumedang – Cirebon.

Sebelum terjadi konflik, Sumedang Larang dengan Cirebon adalah dua kerajaan yang saling memegang erat ikatan kekerabatan. Kerukunan antara kedua kerajaan itu pun berlangsung selama 55 tahun, sampai munculnya drama CLBK (cinta lama bersemi kembali) yang mengawali konflik di antara keduanya.

Ratu Harisbaya dan Prabu Geusan Ulun adalah dua orang yang sudah saling mengenal satu sama lainnya. Keduanya bahkan pernah terlihat dalam kisah asmara ketika Geusan Ulun masih berstatus pangeran.

Pada waktu itu, pangeran Geusan Ulun dikirim oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu agama dan tata negara di Kesultanan Pajang. Di sanalah ia bertemu dengan Harisbaya, seorang putri cantik berdarah ningrat Mataram dari Madura. Keduanya kemudian menjalin hubungan asmara.


Setelah lima tahun menetap di Kesultanan Pajang, sang pangeran pun harus pamit kembali ke Sumedang Larang untuk melanjutkan pemerintahan ayahnya. Hubungan cinta antara Geusan Ulun dan Harisbaya pun berakhir tanpa kejelasan.

Terlebih lagi Harisbaya akan dipersunting oleh Panembahan Ratu, penguasa Cirebon yang juga menantu Sultan Hadiwijaya Raja Kesultanan Pajang. Dengan kata lain, Harisbaya disunting untuk menjadi istri kedua Panembahan Ratu.

Cinta lama bersemi kembali terjadi saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Cirebon dalam perjalan pulangnya dari Kesultanan Panjang di Kartasura, yang lokasinya tidak jauh dari Solo. Ketika berada di keraton Kesultanan Cirebon, ia berjumpa kembali dengan Ratu Harisbaya yang dahulu pernah mewarnai hari-harinya semasa di Pajang.

Pada suatu hari, Harisbaya diam-diam menemui Geusan Ulun dan memohon agar dirinya dibawa ke Sumedang walaupun ia sudah menjadi istri sah sang Panembahan Ratu. Raja di Kerajaan Sumedang Larang itu pun mengiyakan permintaan sang mantan.

Harisbaya kemudian dibawa ke Sumedang tanpa sepengetahuan Panembahan Ratu. Hal ini tentu saja memicu kehebohan di Kesultanan Cirebon. Tidak butuh waktu lama, sang Panembahan Ratu memerintahkan pasukannya untuk menyerang Sumedang.

Cerita versi lain terdapat dalam Arkeologi Islam Nusantara karya Uka Tjandrasasmita. Di situ ia menyebutkan bahwa pertemuan pertama Geusan Ulun dan Harisbaya terjadi saat sang raja Sumedang itu sedang singgah di Cirebon dalam perjalanan pulangnya dari Pajang (Demak).

Harisbaya yang melihat ketampanan Geusan Ulun seketika jatuh hati. Konon ia sebenarnya tidak mencintai Panembahan Ratu yang berusia lebih tua darinya. Karena terbutakan oleh cinta, Harisbaya meminta kepada Geusan Ulun untuk membawanya ke Sumedang.

Keinginan itu pun dikabulkan Geusan Ulung yang kemudian membawa kabur diam-diam Harisbaya yang saat itu sedang hamil. Kelak setelah bayinya lahir diberinya nama Raden Suriadiwangsa yang dianggap sebagai anak sendiri oleh Prabu Geusan Ulun, bahkan ia juga yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang.

Pada tengah malam buta, Sayang Hawu tanpa menunggu perintah langsung menggendong Harisbaya, diikuti oleh Geusan Ulun. Hal ini pun disebutkan dalam Pupuh Mijil “Harisbaya kaluar ti nagari”.

Ku aki di gandong.
Engges anggang putri cacap bae.
Turut lururung angkatna peuting.
Geusan ulun putri.
Jeung Kisayang Hawu.


Terlepas dari kedua kisah yang berlainan versi itu, Panembahan Ratu yang begitu tahu istrinya dibawa kabur Geusan Ulun pun murka. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk menyerbu Sumedang Larang.

Konflik antara Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon itu terjadi pada tahun 1585 M. Tepat enam tahun setelah runtuhnya kerajaan Pajajaran dan penyerahan Mahkota Binokasih kepada Prabu Geusan Ulun.

Dalam peristiwa penyerangan itu, Panembahan Ratu mengerahkan lebih dari 2.000 prajurit terlatih untuk menyerang Sumedang. Sementara pasukan Sumedang dipimpin oleh Jayaperkasa, mantan panglima tinggi di Kerajaan Pajajaran yang sudah berikrar setia kepada Geusan Ulun.

Perang yang terjadi antara Sumedang dan Cirebon berlangsung hingga empat hari empat malam. Pertempuran yang sengit itu pun mengakibatkan gugurnya Jayaperkasa. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar lagi, kedua pihak kemudian sepakat untuk berdamai.

Adapun syarat yang diminta Panembahan Ratu kepada Geusan Ulun sebagai tanda damai adalah menyerahkan Majalengka yang berada di wilayah perbatasan Sumedang dan Cirebon. Penyerahan wilayah itu dimaksudkan sebagai pengganti atas talak Panembahan Ratu kepada Harisbaya.

Setelah konflik Sumedang – Cirebon usai, pada tahun 1620 Kerajaan Sumedang larang menggabungkan wilayah kekuasaannya dengan Kesultanan Mataram yang merubah status kerajaan menjadi Kabupaten di bawah Mataram.


0 Response to "Konflik cinta segitiga Cirebon vs Sumedang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel