
Jejak Keberagaman Bangsa di Bogor tempo dulu
Maret 22, 2025
Comment

Betapa takjubnya para pelancong yang berkunjung ke Buitenzorg saat melihat pemandangan nan indah di kaki Gunung Salak. Catatan mengenai keindahan Bogor tempo dulu pun banyak didokumentasikan dalam bentuk jurnal maupun buku. Di lembah di antara Gunung Gede dan Gunung Salak ini pula, terselip cerita keberagaman bangsa di Buitenzorg.
Sebelum tahun 1579, hamparan pebukitan yang membentang di lembah salak diapit Ciliwung dan Cisadane, serta dibelah oleh Cipakancilan berdiri Kerajaan Sunda Galuh yang ibukotanya di Pakuan Pajajaran. Namun setelah tahun 1619, kemegahan keraton Pakuan Pajajaran hanyalah menyisakan puing reruntuhan sisa bumihangus oleh Kesultanan Banten. Pada saat itu, puing dan bekas keraton masih dapat disaksikan oleh para penjelajah VOC.
Kelak daerah ini kemudian dikenal dengan nama Buitenzorg yang dihuni oleh beragam bangsa mulai dari bangsa Sunda, Eropa, Tionghoa dan Arab. Inilah cikal bakal Kota Bogor yang dahulu sangat terkenal karena keindahan alam dan kesejukan udaranya.
Walaupun Kota Bogor kini sudah tidak seindah dan sesejuk dahulu, namun masih ada sisa-sisa Keberagaman di Buitenzorg yang masih dapat dinikmati misalnya Jejak Tionghoa di Babakan Pasar dan Kampung Gudang, juga orang-orang Arab di kawasan Empang, Bogor Selatan.
Jejak Tionghoa di Babakan Pasar
Pulogeulis terletak di tengah aliran Sungai Ciliwung yang membelah Babakanpasar. Di delta Ciliwung ini berdiri sebuah wihara yang dibangun pada 1619-1743. Wihara tersebut dikenal dengan nama Kelenteng Pan Kho Bio atau Wihara Mahabrahma.
Wihara di Pulogeulis tidak hanya menjadi tempat ibadah umat Buddha dan Konghucu tetapi juga sering dikunjungi para peziarah Sunda Wiwitan, Hindu, dan Islam. Konon, di era Kerajaan Pajajaran masih berdiri, Pulogeulis menjadi tempat pemandian bagi puteri-puteri Pakuan Pajajaran.
Tidak jauh dari Pulogeulis ada Pasar Bogor, di sampingnya adalah Jalan Kelenteng dan Jalan Pasar. Di lokasi ini banyak berdiri rumah-rumah toko dua lantai dengan ornamen yang khas. Di belakang Pasar Bogor ada sebuah bangunan yang dulu dihuni oleh Kapitan Tionghoa. Di sini juga terdapat bangunan hotel Pasar Baroe yang kondisinya kini sangat menyedihkan.
Padahal dahulu saat kota ini masih bernama Buitenzorg, Hotel Pasar Baroe dibangun pada tahun 1873 sezaman dengan dua hotel besar di Bogor tempo dulu yaitu Hotel Binnenhof dan Hotel Bellevue. Hotel Binnenhof sekarang menjadi Hotel Salak, sedangkan Hotel Bellevue sudah berganti rupa menjadi gedung Bogor Trade Mall.
Hotel Binnenhof dan Bellevue adalah hotel yang dikhususkan bagi orang-orang Eropa, Indo-Eropa dan golongan yang disetarakan sedangkan Hotel Pasar Baroe menjadi pilihan orang-orang non Eropa yaitu Sunda, Tionghoa dan Arab.

Jalan Suryakancana tahun 1910
Bergeser sedikit sampailah kita di Jalan Suryakancana. Dahulu jalan raya ini bernama Jalan Perniagaan (handelstraat) dan menjadi bagian dari mega proyek Daendels yaitu Jalan Raya Pos (de Groote Postweg) yang menghubungkan Batavia-Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Di awal jalan Suryakancana berdiri Wihara Dhanagun atau Kelenteng Hok Tek Bio. Wihara ini menjadi tempat ibadat kedua yang dibangun komunitas Tionghoa setelah Pan Kho Bio di Pulogeulis.
Di era kolonial, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1835 memberlakukan pembagian wilayah yang disebut Wijkenstelsel. Hal ini pula yang mendorong orang-orang Tionghoa pindah dari Pulogeulis ke kawasan di sekitar Handelstraat mulai dari Jalan Roda, Gang Aut, Jalan Pedati, Jalan Ranggagading, dan Lawangsaketeng.
Jejak Arab di Kampung Empang
Berada di bagian lembah antara Cipakancilan dan Cisadane ada kawasan Arab yang terbentuk seperti kawasan Tionghoa karena kebijakan Wijkenstelsel 1835-1915. Namun, sebelum menjadi kawasan Arab dan bernama Empang, daerah ini bernama Soekaati (Sukahati). Di sinilah pusat pemerintahan Kampung Baru sekaligus cikal bakal Kabupaten Bogor.

Tanjakan Empang tahun 1904
Kampung Empang terbentuk setelah munculnya kebijakan Wijkenstelsel. Kawasan ini berada di lembah antara Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan. Sebelum dihuni oleh orang-orang Arab. Daerah ini dulunya bernama Kampung Soekaati (Sukahati).
Di sini pula terdapat pemerintahan Kampung Baru yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Sebutan Empang muncul setelah Demang Wiranata (1749-1758) Bupati kampung Baru membangun sebuah kolam ikan berukuran luas di depan rumahnya.
Di kawasan Empang terdapat sebuah alun-alun yang menurut para sejarawan sudah ada sejak zaman Pakuan Pajajaran. Alun-alun ini konon dahulu kerap digunakan sebagai tempat hukuman bagi para penjahat atau pelaku kriminal yang dipertontonkan ke masyarakat.
Alun-alun Empang juga pernah menjadi saksi bisu peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Pajajaran. Berada tidak jauh dari kawasan alun-alun, banyak berdiri bangunan-bangunan lama seperti Masjid An Nur, Masjid Agung Empang, Bekas rumah Bupati kampung baru, rumah kapitan Arab, dan Bendungan Empang. Jika berjalan menanjak menaikki tanjakan Bondongan, akan ditemukan Makam Raden Saleh Syarif Bustaman, seorang pelukis terkenal di era kolonial.
Kelak daerah ini kemudian dikenal dengan nama Buitenzorg yang dihuni oleh beragam bangsa mulai dari bangsa Sunda, Eropa, Tionghoa dan Arab. Inilah cikal bakal Kota Bogor yang dahulu sangat terkenal karena keindahan alam dan kesejukan udaranya.
Walaupun Kota Bogor kini sudah tidak seindah dan sesejuk dahulu, namun masih ada sisa-sisa Keberagaman di Buitenzorg yang masih dapat dinikmati misalnya Jejak Tionghoa di Babakan Pasar dan Kampung Gudang, juga orang-orang Arab di kawasan Empang, Bogor Selatan.
Jejak Tionghoa di Babakan Pasar
Pulogeulis terletak di tengah aliran Sungai Ciliwung yang membelah Babakanpasar. Di delta Ciliwung ini berdiri sebuah wihara yang dibangun pada 1619-1743. Wihara tersebut dikenal dengan nama Kelenteng Pan Kho Bio atau Wihara Mahabrahma.
Wihara di Pulogeulis tidak hanya menjadi tempat ibadah umat Buddha dan Konghucu tetapi juga sering dikunjungi para peziarah Sunda Wiwitan, Hindu, dan Islam. Konon, di era Kerajaan Pajajaran masih berdiri, Pulogeulis menjadi tempat pemandian bagi puteri-puteri Pakuan Pajajaran.
Tidak jauh dari Pulogeulis ada Pasar Bogor, di sampingnya adalah Jalan Kelenteng dan Jalan Pasar. Di lokasi ini banyak berdiri rumah-rumah toko dua lantai dengan ornamen yang khas. Di belakang Pasar Bogor ada sebuah bangunan yang dulu dihuni oleh Kapitan Tionghoa. Di sini juga terdapat bangunan hotel Pasar Baroe yang kondisinya kini sangat menyedihkan.
Padahal dahulu saat kota ini masih bernama Buitenzorg, Hotel Pasar Baroe dibangun pada tahun 1873 sezaman dengan dua hotel besar di Bogor tempo dulu yaitu Hotel Binnenhof dan Hotel Bellevue. Hotel Binnenhof sekarang menjadi Hotel Salak, sedangkan Hotel Bellevue sudah berganti rupa menjadi gedung Bogor Trade Mall.
Hotel Binnenhof dan Bellevue adalah hotel yang dikhususkan bagi orang-orang Eropa, Indo-Eropa dan golongan yang disetarakan sedangkan Hotel Pasar Baroe menjadi pilihan orang-orang non Eropa yaitu Sunda, Tionghoa dan Arab.

Jalan Suryakancana tahun 1910
Bergeser sedikit sampailah kita di Jalan Suryakancana. Dahulu jalan raya ini bernama Jalan Perniagaan (handelstraat) dan menjadi bagian dari mega proyek Daendels yaitu Jalan Raya Pos (de Groote Postweg) yang menghubungkan Batavia-Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Di awal jalan Suryakancana berdiri Wihara Dhanagun atau Kelenteng Hok Tek Bio. Wihara ini menjadi tempat ibadat kedua yang dibangun komunitas Tionghoa setelah Pan Kho Bio di Pulogeulis.
Di era kolonial, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1835 memberlakukan pembagian wilayah yang disebut Wijkenstelsel. Hal ini pula yang mendorong orang-orang Tionghoa pindah dari Pulogeulis ke kawasan di sekitar Handelstraat mulai dari Jalan Roda, Gang Aut, Jalan Pedati, Jalan Ranggagading, dan Lawangsaketeng.
Jejak Arab di Kampung Empang
Berada di bagian lembah antara Cipakancilan dan Cisadane ada kawasan Arab yang terbentuk seperti kawasan Tionghoa karena kebijakan Wijkenstelsel 1835-1915. Namun, sebelum menjadi kawasan Arab dan bernama Empang, daerah ini bernama Soekaati (Sukahati). Di sinilah pusat pemerintahan Kampung Baru sekaligus cikal bakal Kabupaten Bogor.

Tanjakan Empang tahun 1904
Kampung Empang terbentuk setelah munculnya kebijakan Wijkenstelsel. Kawasan ini berada di lembah antara Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan. Sebelum dihuni oleh orang-orang Arab. Daerah ini dulunya bernama Kampung Soekaati (Sukahati).
Di sini pula terdapat pemerintahan Kampung Baru yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Sebutan Empang muncul setelah Demang Wiranata (1749-1758) Bupati kampung Baru membangun sebuah kolam ikan berukuran luas di depan rumahnya.
Di kawasan Empang terdapat sebuah alun-alun yang menurut para sejarawan sudah ada sejak zaman Pakuan Pajajaran. Alun-alun ini konon dahulu kerap digunakan sebagai tempat hukuman bagi para penjahat atau pelaku kriminal yang dipertontonkan ke masyarakat.
Alun-alun Empang juga pernah menjadi saksi bisu peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Pajajaran. Berada tidak jauh dari kawasan alun-alun, banyak berdiri bangunan-bangunan lama seperti Masjid An Nur, Masjid Agung Empang, Bekas rumah Bupati kampung baru, rumah kapitan Arab, dan Bendungan Empang. Jika berjalan menanjak menaikki tanjakan Bondongan, akan ditemukan Makam Raden Saleh Syarif Bustaman, seorang pelukis terkenal di era kolonial.
0 Response to "Jejak Keberagaman Bangsa di Bogor tempo dulu"
Posting Komentar