
Bogor tahun 1945
Empat bulan setelah Indonesia Merdeka, terjadi kekosongan pemerintahan di Bogor tahun 1945 yang menjadikan situasi keamanan semakin tidak terkendali dan penuh kekacauan di mana-mana. Berikut Suasana Bogor tahun 1945.
Revolusi sosial terjadi di Bogor pada tahun 1945. Di bulan Oktober 1945, banyak terjadi kasus penculikan orang-orang Belanda dan Indo-Eropa yang dilakukan oleh orang-orang Republik.
Pada masa itu, otoritas RI sudah berdiri di Bogor, tapi mereka tidak dapat menguasai situasi maupun kondisi yang tengah terjadi. Pengawasan untuk bisa mencegah berbagai aksi kekerasan masih kurang maksimal, terlebih lagi menghadapi kemarahan para pendukung RI yang dilampiaskan kepada orang-orang Eropa dan Indo dengan cara yang berlebihan.
Di Depok dan Bogor didirikan dua kamp intermiran. Pada tanggal 10 dan 11 Oktober 1945, lebih dari 4000 orang datang ke Depok dengan menggunakan kereta api, truk, dan gerobak sapi. Pihak intelijen Belanda yang mengetahui kabar tersebut segera melaporkan penemuannya ke pusat dengan sepengetahuan pejabat pemerintah dan kepolisian RI.
Suasana di Depok semakin mencekam setelah aksi kemarahan rakyat kepada orang Eropa dan keturunannya terjadi di semua tempat di Depok. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “Gedoran Depok”. Dalam peristiwa tersebut, sedikitnya 33 orang Belanda meninggal dunia, sedangkan di tempat lain laki-laki dewasa dipisahkan dengan wanita dan anak-anak lalu dibawa ke Bogor. Pada sore hari tanggal 16 Oktober 1945, satu peleton pasukan Gurkha dibawah pimpinan Letnan de Winter dikirim untuk mengatasi masalah tersebut.
Aksi kekerasan yang terjadi selama masa peralihan tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak yang selama ini menjadi kaki tangan Belanda saja, tetapi juga menimpa rakyat dan orang-orang Republik. Situasi ini juga dimanfaatkan oleh para perampok dan kriminal untuk kepentingan pribadinya.
Di Cisarua misalnya, Kepala Staff Resimen Bogor / Divisi II TKR, Mayor A.E. Kawilarang mendapatkan laporan bahwa di Cisarua ada dua orang wanita Menado dengan anak-anaknya yang masih balita meminta bantuan karena merasa terancam. Ia pun menemui wanita tersebut dan berjanji akkan mengirimkan tentara untuk menjemputnya besok pagi ke tempat yang lebih aman. Namun saat para tentara hendak menjemputnya keesokan harinya, rumah kedua wanita itu telah dirampok dan mereka semua telah meninggal dengan tubuh penuh luka.
Situasi di dalam Kota Bogor sendiri masih belum menentu. Malam hari tanggal 11-12 Oktober 1945, sejumlah orang yang terdiri dari anggota BKR dan Pelopor mengetuk setiap rumah yang dihuni oleh orang Belanda dan Indo. Mereka kemudian dibawa ke sebuah penjara tua yang berada di daerah Paledang. Kondisi penjara Paledang pada saat itu hanya mampu menampung 300 orang saja, tapi di masa peralihan ini ada lebih dari 1.200 tawanan yang berasal dari Bogor dan Depok.
Pada akhir bulan Oktober 1945, pihak Inggris yang melakukan inspeksi ke penjara Paledang, menawarkan kerjasama dengan kepala penjara untuk memindahkan para tawanan ke kamp pengungsian. Para tawanan itupun dipindahkan ke kamp-kamp yang ada di Bogor di antaranya adalah Kamp Kedoenghalang, Kamp Ursulinenklooster, Kamp Bataljon 14 di Pabaton, dan Kamp Kotaparis.
Bogor pada tahun 1945, selama bulan Oktober s/d November 1945, banyak isu-isu muncul akan terjadinya pembalasan dendam kepada orang-orang Belanda maupun keturunannya (orang-orang Indo). Hal ini menjadikan mereka sangat ketakutan dan mencari perlindungan kepada tentara Sekutu, dalam hal ini Inggris dan Australia.
Kemarahan para pemuda republik pada akhirnya dilampiaskan kepada tentara Jepang. Di Pondokgedeh, Cigombong terjadi penyerbuan massa pemuda terhadap kamp yang dihuni oleh tentara Jepang. Dalam peristiwa tersebut, Letkol Kawagishi bersama dengan 21 tentara jepang lainnya tewas, dan mayat mereka ditemukan dalam sebuah kuburan massal yang letaknya tidak jauh dari kamp tersebut beberapa hari kemudian.
Di dalam Kota Bogor para pemuda juga tak segan akan menghukum mereka yang telah mengganggu keamanan di Bogor, salah satunya adalah perburuan terhadap Pak Oente yang sering berbuat onar di daerah Dramaga. Pada tanggal 10 November 1945, Pak Oente berhasil ditangkap di daerah Jampang, lalu dibawa ke Bogor. Di Bogor, ia diseret hingga ke tengah sebuah perkebunan, lalu digantung di atas sebuah paal. Di tubuhnya ditempel secarik kertas bertuliskan “Ini Kaki tangan NICA!”.
Kekerasan dan gangguan keamanan yang terjadi selama Oktober 1945 telah meningkatkan ketegangan di dalam Kota Bogor. Kondisi ini makin menjadi setelah Inggris secara sepihak menyerahkan kekuasaan Bogor sepenuhnya kepada tentara Belanda.
Terlebih lagi dengan kedatangan pasukan tambahan Belanda yang didatangkan dari Jakarta membuat situasi semakin mencekam. Selama bulan November, kekacauan muncul di mana-mana akibat sikap Belanda yang diluar batas.
Pembunuhan terhadap rakyat terjadi di beberapa tempat di Bogor dengan alasan yang tidak masuk akal. Bahkan wakil Walikota Bogor saat itu menjadi korban pembunuhan tentara Belanda yang menyerbu rumah kediamannya dan meneror warga Cimanggu dengan menambakan mortir dan mitralyur secara serampangan.
Di Cimanggu juga mereka membunuh dua orang polisi negara yang sedang bertugas di pos Polisi yang letaknya tidak jauh dari Sekolah Pertanian.
Pada 8 Desember 1945, ketika pihak Sekutu memerintahkan para pemuda yang dipimpin oleh A.K Yusuf yang saat itu menduduki Istana Bogor untuk segera keluar dari Istana dan menyerahkannya kepada pihak Sekutu.
Pada awalnya, para pemuda menolak ultimatum sepihak dari Inggris, dan bersikeras untuk tetap bertahan di dalam Istana Bogor. Namun atas perintah Sutan Sjahrir (ketua KNIP), mereka dengan terpaksa meninggalkan Istana.
Setelah Istana Bogor dikuasai Inggris, pihak Sekutu mulai meluaskan wilayah kekuasaannya. Seluruh petinggi pemerintahan RI yang ada di Bogor bersama dengan keluarganya dipindahkan ke daerah Dramaga dengan kawalan Polisi Negara.
![]() |
Istana Bogor tahun 1947 |
Di dalam kota Bogor, Belanda mulai merebut tempat-tempat penting seperti Kantor Telepon, Pabrik Ban Goodyear di Tanah Sareal, Markas Kepolisian di Jalan Banten (kini Jalan Kapten Muslihat), Gedung MULO, Kantor Residen (Balaikota Bogor), termasuk juga bengkel mobil de Vries di Panaragan dan Kamp Ursulinenkloster.
Aksi sepihak tersebut membuat geram orang-orang Republik. Mereka segera mengadakan pertemuan yang dihadiri seluruh kalangan pejuang RI di Bogor. Rapat tersebut menghasilkan keputusan yang salah satunya adalah menyerang sekutu.
Pada tanggal 9 Desember 1945, terjadi penyerangan besar-besaran terhadap iring-iringan pasukan Sekutu yang sedang menuju Bandung di daerah Bojongkokosan, Sukabumi. Serangan ini menyebabkan banyak korban berjatuhan dari pihak Sekutu, dan memicu serangan balasan dari Sekutu pada tanggal 10 Desember 1945 dengan membombardir daerah Cibadak Sukabumi.
Setelah peristiwa Bojongkokosan, pihak Sekutu makin bersikap sewenang-wenang. Mereka makin sering melakukan patroli disertai penggeledahan yang berujung pada pembakaran dan penembakan rumah-rumah warga selama tiga hari berturut-turut yaitu dari 16 s/d 18 Desember 1945.
Selama masa itu pula, patroli Sekutu kian gencar dilakukan di daerah-daerah yang dianggapnya menjadi tempat persembunyian kaum Republik seperti di daerah Panaragan Kidul, Gunung Batu, Gang Kepatihan, Lebak, Ciawi, Cinangneng, Ciluar, Cijeruk, Sindangbarang, Cikereteg, Pagentongan, dan Depok. Operasi yang dilakukan Sekutu berhasil memukul mundur para pejuang.
Untuk meredakan situasi yang semakin memanas itu, Panglima Komandemen I Jawa barat Jenderal Abdul kadir dikawal ajudannya datang langsung dari Purwakarta ke Bogor untuk berunding dengan Sekutu.
Perundingan itu pun menghasilkan keputusan bahwa TKR harus keluar dari Bogor demi lancarnya repatriasi tawanan tentara Jepang dan APWI yang berasal dari Bogor dan sekitarnya.
Untuk menjaga kondisi, pimpinan TKR yang berada di Karesidenan Bogor memberikan peringatan agar para pemuda dan laskar tidak mengganggu iring-iringan truk yang membawa tawanan Jepang yang akan melewati daerah Cimande menuju Jakarta, karena mereka akan dipulangkan kembali ke negeri asalnya.
Adapun situasi di dalam Kota Bogor hanya polisi negara dan polisi tentara sjaa yang ditugaskan untuk menjaga kemanan dan berpatroli bersama Polisi Militer Serikat. Semenjak itulah, Sekutu dan Belanda mulai menganggap bahwa kelompok bersenjata yang masih ada di dalam kota Bogor adalah para ekstrimis yang harus dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Sedangkan di luar Kota Bogor, TKR masih bisa leluasa bergerak. Pertempuran baru reda setelah militer Belanda meninggalkan Kotaparis. Sementara itu di kalangan pemerintahan sendiri terjadi silang sengketa yang memicu perpecahan di kalangan Republik.
Istana Bogor yang dikuasai oleh Musuh menjadikan jalanya roda pemerintahan dilakukan di luar kota, yakni di Dramaga. Selain itu, terjadi pula pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Narija yang didukung oleh Laskar Gulung Bukut (Gulkut) pimpinan Tje Mamat.
Para pemberontak menyandera Residen Bogor yaitu R.Barnas Tanuningrat dan juga Kepala Polisi R.Enoh Danubrata, kemudian mencopot jabatannya dan mengganti seluruh pejabat pemerintahan di Karesidenan Bogor dengan orang-orang mereka.
Pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta hampir saja memberikan pengakuan kepada mereka karena kurangnya informasi mengenai situasi politik yang terjadi di Bogor. Setelah adanya laporan dari para pejuang Bogor, pemerintah RI kemudian mengambil tindakan tegas dengan memerintahkan pimpinan TKR di Bogor segera menangkap Ki Narija dan kelompoknya.
Dengan adanya perintah tersebut, maka dibentuklah pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri atas Bataljon II yang dipimpin Mayor Toha, Bataljon III yang dipimpin Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Laskar Hizbullah yang dipimpin oleh R.E.Abdullah, dan Laskar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar.
Dalam peristiwa tersebut, Ki Nariya dan pasukannya berhasil ditangkap, akan tetapi Tje Mamat berhasil melarikan diri ke daerah Leuwiliang namun berhasil ditangkap Laskar Leuwiliang pimpinan oleh Sholeh Iskandar. Tje Mamat kemudian dibawa ke Komandeman Jawa Barat di Purwakarta, karena Ia adalah buronan dari daerah Banten.Suatu pagi di hari Natal tanggal 25 Desember 1945, pasukan Inggris dan Belanda yang saat itu bermarkas di kantor Polisi Negara di bekas hotel Du Chemin de Fer di jalan Banten (kini Jalan Kapten Muslihat) diserang oleh pasukan pejuang yang dipimpin oleh Kapten Tubagus Muslihat.
Peristiwa penyerangan ini menyebabkan jatuhnya banyak korban dari pihak musuh. Namun penyerangan tersebut juga menyebabkan gugurnya sang Kapten, Tubagus Muslihat. Peristiwa ini diabadikan dalam sebuah diorama di Museum Perjuangan Bogor.
Memasuki tahun 1946, kondisi pemerintahan RI di Bogor mulai pulih secara berangsur, terutama kepolisian negara dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di awal tahun baru juga, pihak sekutu semakin memperkuat penjagaan di sejumlah wilayah, khususnya di pintu-pintu masuk menuju pusat Kota seperti di Jembatan Satu Duit, Panaragan, Kedoenghalang, Bank Rakyat, dan Ciburial. Di tempat-tempat tersebut didirikan pos-pos jaga lengkap dengan kendaraan bersenjata berat.
Memasuki pusat kota, penjagaan kian diperketat terutama di sekitar Istana Bogor, Sempur, kantor Pajak, Sekolah Guru, Kamp Bataljon 12, dan Gereja Katolik. Untuk mencegah penyusup masuk area Istana, pagar-pagar di Kebun Raya dipasangi dengan kawat-kawat listrik bertegangan tinggi dan setiap lima meternya digantung sebuah granat.
Pasukan Belanda dan Gurkha semakin agresif melakukan patroli di seluruh penjuru kota dan menggeledah rumah-rumah yang mereka curigai. Aksi tersebut memicu tindak kekerasan yang berujung pada penjarahan harta benda milik rakyat, penembakan terhadap warga sipil yang tidak bersalah, juga pemerkosaan terhadap perempuan Indonesia.
Tindakan tidak terpuji itu pun mengundang reaksi keras dari Residen Bogor. Mereka kemudian mengajukan beberapa tuntutan yang antara lain adalah agar pasukan Gurkha dan Belanda untuk mengembalikan senjata yang mereka jarah dari Polisi Negara, mengembalikan barang-barang yang telah dijarah dari rakyat, juga agar segera keluar dari Kebun Raya demi keamanan bersama.
Sementara di luar Kota Bogor, pertempuran demi pertempuran terjadi antara pihak Pejuang dengan tentara Belanda didukung Sekutu. Di antaranya di daerah Gunung Putri pada tanggal 18 September 1948 yang menyebabkan gugurnya Tijan bin Haji Syairin yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama Kampung di kecamatan Kedung Waringin yaitu Gang pahlawan Tidjan.
Begitu juga di daerah leuweung Kolot, Ciampea terjadi pertempuran antara bataljon VI pimpinan Sholeh Iskandar yang menjadi cikal bakal penyebutan nama Kampung Tank.
0 Response to "Bogor tahun 1945"
Posting Komentar