Akhir Kejayaan Pakuan Pajajaran

Akhir Kejayaan Pakuan Pajajaran



Setelah keruntuhan Kerajaan Pajajaran pada 1579 Masehi, Maulana Yusuf tidak lantas menjadikan Pakuan sebagai pusat pemerintahan Islam sebagaimana Surasowan di Banten. Kota ini dibiarkan terbengkalai menyisakan puing keraton yang sebagian besar telah menjadi arang.


Selama berpuluh-puluh tahun pula, Pakuan menjadi kota yang hilang dari peradaban Nusantara. Penduduk Pakuan yang sudah mengungsi karena perang pun tidak berani kembali ke kotanya. Pakuan dibiarkan menjadi hutan larangan, tidak ada yang berani menginjakkan kakinya di tanah ini.

Berakhirnya kejayaan Pajajaran turut menghadirkan cerita baru di masyarakat Sunda, bahwa Pakuan tidak sekedar hilang tetapi telah berubah menjadi hutan belukar mengikuti moksanya Prabu Siliwangi. 

Menjadi kesedihan bagi masyarakat Sunda, terutama mengingat bahwa Kerajaan Pajajaran pernah berjaya di tanah Pasundan. Dalam pantun Bogor episode Dadap Malang Sisi Cimandiri dikisahkan bagaimana tragisnya akhir kerajaan Pajajaran. Keraton yang dahulu megah perkasa, kini hanya tersisa onggokan debu dan arang setelah terbakar hebat di malam tanggal 8 Mei 1579 Masehi.


Konon, kobaran api yang membakar keraton dan menghanguskan seluruh kota Pakuan meninggalkan bara yang tidak bisa padam selama beberapa minggu setelahnya. 

Berakhirnya Kerajaan Pakuan Pajajaran terjadi beberapa tahun setelah wafatnya Susuhunan Gunung Jati (1568 M) dan Panembahan Hasannudin (1570 M).

Sejarah pun mencatat Pajajaran sudah runtuh, istananya pun hilang tidak berbekas. Meski palangka gilang sriman sriwacana berhasil diboyong ke Surasowan, namun mereka tidak berhasil membawa Mahkota Binokasih Sanghyang Pake yang sudah terlebih dulu diamankan ke Sumedang Larang.

Mendung di Langit Pakuan




Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati lahir pada tahun 1450 Masehi. Ibunda Susuhunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, puteri Sri Baduga Maharaja dari Kerajaan Sunda Galuh Pakuan yang terkenal sebagai Prabu Siliwangi dari hasil pernikahannya dengan Nyi Subang Larang.

Pada waktu Syarif Hidayatullah menetap di Cirebon, beliau diangkat menjadi guru agama menggantikan Syeikh Datuk Kahfi yang sudah wafat. Oleh pamannya, Pangeran Walang Sungsang, Syarif Hidayatullah kemudian dinobatkan sebagai penguasa Cirebon untuk menggantikan dirinya.

Pada awalnya, Pangeran Walang Sungsang diberikan kekuasaan atas Cirebon oleh ayahnya Sri Baduga Maharaja. Namun karena sayang kepada Rara Santang, adiknya, ia menyerahkan tahta Cirebon kepada keponakannya tersebut. Adapun Walang Sungsang bertindak sebagai pelindungnya.

Pada tahun 1404 Saka atau sekitar April 1482 Masehi, Syarif Hidayatullah memproklamirkan Cirebon sebagai kerajaan yang berdiri sendiri (merdeka) dengan melepaskan diri sebagai bawahan Kerajaan Galuh.

Sri Baduga Maharaja sebagai penguasa di tanah Sunda tentu sangat terganggu perasaannya. Sang Prabu kemudian mengutus tumenggung untuk menyelidik masalah ini. Konon, sang tumenggung tidak pernah kembali. Pasukannya disergap oleh prajurit gabungan Cirebon-Demak saat memasuki daerah Gunung Sembung. Mengetahui hal tersebut, Sri Baduga memerintahkan pasukannya untuk menyerang Cirebon.

Untunglah niat untuk menyerang Cirebon digagalkan oleh Ki Purwagalih, seorang purohita atau pandita tertinggi di Kerajaan Sunda Galuh. Menurut Ki Purwagalih, Syarif Hidayatullah tak lain adalah cucu dari Sri Baduga Maharaja yang dilantik oleh Walang Sungsang Putera Sri Baduga sebagai penguasa di Cirebon.

Sisa Arca Purwakalih di situs Batu Tulis Bogor
Sisa Arca Purwakalih di situs Batu Tulis Bogor



Dalam buku Sejarah Jawa Barat: Rintisan Penelusuran Masa Silam karangan Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, dan Enoch Atmadibrata menuliskan bahwa Ki Purwakalih berpesan kepada Sri Baduga bahwa: 

“Seorang kakek yang memerangi anak (Walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayatullah) tentu akan dicemoohkan orang” .

Hal yang sama dirasakan juga oleh Cirebon. Ada rasa enggan untuk memerangi Sri Baduga Maharaja yang dianggap leluhurnya. Hubungan kekeluargaan inilah yang berhasil meredam perseteruan antara Kerajaan Sunda Galuh dengan Cirebon.


Wafatnya Prabu Siliwangi
Penobatan Prabu Siliwangi
Penobatan Prabu Siliwangi



Di Tanah Pakuan, Sri Baduga Maharaja wafat dalam usia 120 tahun pada 1521 M. Wafatnya Sri Baduga terjadi beberapa minggu setelah Pangeran Sangiang pulang dari perjanjian dagang di Malaka.

Kepergian sang raja agung, Prabu Siliwangi penguasa tanah Sunda ditangisi oleh seluruh rakyatnya. Rakyat diliputi duka mendalam karena kehilangan sosok pemimpin yang selama ini menjadi panutan karena telah berhasil menyatukan seluruh wilayah Sunda di bawah panji kejayaan Pakuan Pajajaran.


Terdapat banyak versi yang beredar di masyarakat mengenai tempat dimakamkannya Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Namun dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa Sri Baduga dimakamkan di Bukit Badigul, Rancamaya, Bogor. Dalam naskah itu dituturkan Sri Baduga sebagai Sang mwakta ring Rancamaya (nu sumare di Rancamaya) (Danasasmita, 2003: 61-62).

Menurut beberapa sumber dan literatur, hari kewafatan Sri Baduga Maharaja terjadi pada 31 Desember 1521 M. Kelak hari kewafatan Prabu Siliwangi selalu diperingati oleh penerus tahtanya, Prabu Surawisesa dengan mengadakan upacara khusus di Rancamaya untuk mengenang dan mendoakan sang ayah.


Surawisesa penerus tahta Pajajaran





Sepeninggal Sri baduga Maharaja, Pangeran Sangiang kemudian dinobatkan menjadi Raja di Pakuan Pajajaran dengan nama Prabu Surawisesa.

Keengganan dan rasa hormat Cirebon kepada Kerajaan Pajajaran mulai sirna setelah naik tahtanya Prabu Surawisesa. Surawisesa adalah saudara satu ayah Pangeran Walang Sungsang, yang lahir dari hasil pernikahan Prabu Siliwangi dengan Kentring Manik Mayang Sunda. Sejak itulah, konflik antara kedua kerajaan yang masih bersaudara itu terus terjadi.

Bisa jadi konflik tersebut muncul akibat adanya desakan untuk melakukan ekspansi dagang, terlebih lagi serangan pertama yang dilakukan pasukan gabungan Cirebon – Demak yang sasarannya adalah menguasai pelabuhan-pelabuhan vital yang dimiliki Pajajaran. Perang antara Cirebon dan Pajajaran diperkirakan berlangsung selama lima tahun.

Surawisesa dipuji dalam Carita Parahyangan sebagai “kasuran” atau perwira, “kadiran” perkasa, dan “kuwanen” pemberani. Selama 14 tahun memerintah di Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran, ia sudah bertempur sebanyak 15 kali.

Carita Parahyangan juga menyebutkan bahwa peperangan yang terjadi selama 15 kali itu berakhir di sebelah barat Sungai Citarum. Pada saat itu, kedua pihak saling menunggu, gabungan Demak dan Cirebon tidak berhasil menembus pertahanan Pajajaran, begitu pula Pajajaran yang tidak berhasil merebut kembali pelabuhannya yang telah dikuasai mereka.

Sementara di pihak lain, Galuh berusaha menguasai kembali Cirebon. Raja Galuh mengirimkan surat kepada Syarif Hidayatullah untuk bergabung dengan Galuh, mengingat Galuh adalah negeri yang memiliki hak historis atas Cirebon. Permintaan tersebut tentu saja ditolak oleh Syarif Hidayatullah yang justru meminta bantuan Fadillah Khan untuk menjaga Pakungwati. Fadillah Khan kemudian mengirim sekitar 700 orang pasukannya untuk membantu pertahanan Cirebon.

Di wilayah timur, Pajajaran harus kehilangan Galuh setelah berhasil dikalahkan pasukan Cirebon di daerah bukit Gundul Palimanan yang kemudian menembus jantung pertahanan Galuh di Talaga. Perang tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 1528 s/d 1530 Masehi.

Munculnya Perjanjian Damai.

Setelah Pajajaran kalah dan harus kehilangan beberapa wilayah kerajaannya, Surawisesa mengambil langkah politis dengan mengirimkan utusan ke Pakungwati untuk membawa perjanjian perdamaian. Susuhunan Cirebon menerima tawaran damai tersebut, maka pada tahun 1531 M, terjadilah perdamaian antara Cirebon dan Pajajaran.

Secara garis besar, isi dari perjanjian damai itu adalah menyetujui bahwa Pajajaran dan Cirebon saling mengakui kedaulatan negerinya masing-masing, berdiri sederajat, dan masih merupakan keturunan Sri Baduga Maharaja.

Dalam suasana damai itulah, pada tahun 1533, tepat 12 tahun ayahnya wafat. Surawisesa membuat sasakala atau tanda peringatan di sebuah batu untuk mengenang kejayaan sang ayah, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Di batu itu ia menuliskan karya-karya luhur yang pernah diterapkan oleh sang ayah.

Surawisesa tidak menggoreskan namanya di atas batu. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depannya. Satu berupa ukiran jejak tangan, satunya lagi ukiran jejak kaki. Ada kemungkinan pemasangan batu peringatan itu bertepatan dengan upacara srada yaitu penyempurnaan sukma yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat.



Prasasti Batu Tulis di Bogor


Tanda peringatan itu dibuatnya di kabuyutan Pakuan tidak jauh dari Bale tempat dinobatkannya Sri Baduga dan juga dirinya sebagai Raja di Pajajaran, di atas Palangka Sriman Sriwacana. Pembuatan batu peringatan itu juga sekaligus sebagai bentuk penyesalan dan ungkapan kesedihan karena kegagalannya menjaga keutuhan wilayah Pajajaran. 


Dua tahun setelah Surawisesa membuat tanda peringatan, ia wafat dan dipusarakan di Padaren.

Batu peringatan itu kelak ditemukan setelah seratus tahun kemudian dalam sebuah ekspedisi VOC pimpinan Adolf Winkler pada tanggal 26 Juni 1690, dan dikenal dengan nama Prasasti Batu Tulis.


Pajajaran Pimpinan Ratu Dewata




Sepeninggal Surawisesa, Pajajaran dipimpin oleh putranya yaitu Prabu Dewatabuanawisesa atau Ratu Dewata. Namun berbeda dengan Surawisesa yang terkenal karena keberaniannya sebagai panglima perang yang gagah perkasa, Ratu Dewata adalah orang yang sangat alim dan terlalu taat kepada agamanya.

Perjanjian damai antara Pajajaran dan Cirebon sebenarnya masih berlaku. Akan tetapi, Ratu Dewata sebagai pelanjut kepemimpinan negara tentulah harus selalu bersiaga. Namun faktanya, ia lebih cenderung kurang tertarik kepada politik.

Ratu Dewata lebih sering mengabaikan urusan duniawi, dan memilih menjadi raja resi. Kegiatannya sehari-hari adalah berpuasa, tapa pwah-susu, makan buah-buahan dan hanya minum susu, juga sering melakukan upacara sunatan (adat khitanan sebelum Islam).

Terkait perjanjian damai Pajajaran-Cirebon, Maulana Hasanudin sebenarnya tahu dan ikut menandatangani perjanjian tersebut. Namun hal itu dilakukannya hanya karena patuh kepada siasat sang ayah yaitu Susuhunan Jati yang melihat kepentingan Cirebon di wilayah bagian timur Citarum.

Secara pribadi Hasannudin sebenarnya tidak setuju jika harus berdamai dengan Pajajaran, terlebih lagi kekuasaannya berbatasan langsung dengan Kerajaan Sunda itu. Maka secara diam-diam, ia pun membentuk pasukan khusus. Pasukan yang mampu bergerak cepat dengan tujuan menyerang Pakuan secara mendadak seperti yang telah dilakukannya saat merebut Surasowan.

Menurut Carita Parahyangan, di masa pemerintahan Ratu Dewata terjadi serangan mendadak ke Pakuan dari musuh yang tidak dikenal asal-usulnya. Meski begitu, Ratu Dewata masih cukup beruntung, karena biarpun dirinya tidak mampu mengelola kerajaan namun ia masih memiliki para ksatria tangguh yang pernah mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran.

Selain itu, serangan itu juga dipersulit dengan kondisi medan di Pakuan yang berbukit serta ketangguhan benteng Pajajaran peninggalan Sri Baduga Maharaja. Karena tidak mampu menembus gerbang Pakuan pertempuran pun terjadi di sekitar Alun-alun Empang. Dalam peristiwa tersebut, dua orang senapati Pajajaran gugur yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet.



Ilustrasi serangan di Pajajaran


Naskah Carita Parahyangan menulis mengenai peperangan tersebut: “Datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang” artinya “Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang”.

Mengenai kokohnya benteng Pakuan adalah juga karena jasa Hariang Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja pertama di Kerajaan Sunda yang saat itu masih menjadi bawahan Galuh. Ia membuat parit pertahanan pakuan yang kemudian diperluas pada zaman Sri Baduga Maharaja seperti yang diungkapkan dalam Pustaka Nagara Kretabhumi 1/2.

Setelah gagal menguasai pakuan, pasukan tanpa nama ini beralih menyerang wilayah utara dengan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang di masa Sri Baduga ditetapkan sebagai desa kawikuan yang dilindungi negara.

Sikap Raja Dewata yang alim di tengah berbagai upaya untuk menyerang kerajaan tentu sangat disayangkan oleh berbagai pihak termasuk juga pejabat kerajaan. Ritual Tapa brata yang sering dilakukannya seharusnya hanya bisa dilakukan jika telah turun tahta dan menempuh kehidupan Manu Raja Suniya seperti yang dilakukan oleh kakek buyutnya, Niskala Wastu Kancana.

Karena hal itu pula, Ratu Dewata disindir dalam Carita Parahyangan: “Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” yang artinya “Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa”.

Apa yang dilakukan Ratu Dewata sebetulnya imbas dari perjanjian damai yang terjadi antara Pajajaran dan Cirebon. Ia terlalu masyuk dengan ritual-ritual keagamaannya, tanpa menyadari bahwa Pakuan Pajajaran sedang berada dalam ancaman yang sangat serius.

Wafatnya Ratu Dewata

Prabu Dewatabuanawisesa wafat pada tahun 1543 M lalu digantikan oleh anaknya, Ratu Sakti. Namun berbeda dengan ayahnya yang sangat alim dan taat kepada perintah agama, Ratu Sakti memerintah kerajaan dengan sangat lalim dan kejam.


Pajajaran pimpinan Ratu Sakti



Setelah ditinggalkan oleh Surawisesa, Pajajaran tidak lagi sekuat dahulu. Terjadi pergeseran norma, tradisi dan budaya di era Raja-Raja setelah Surawisesa. Ratu Dewata yang lebih memilih sebagai Raja Resi ketimbang mengurus pemerintahan, juga Ratu Sakti yang memerintah dengan sangat kejam. Alhasil pada masa-masa itulah, Pakuan Pajajaran mengalami masa Kaliyuga.

Ratu Sakti memerintah Kerajaan sunda Pakuan Pajajaran selama 8 tahun saja, yaitu dari tahun 1543 M sampai 1551 M. Ia dikudeta dari tahtanya oleh para pejabat pemerintahan lalu menggantinya dengan Nilakendra.

Di era kepemimpinannya, Pajajaran ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Kondisi kerajaan terbilang sangat bobrok dengan pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang. Meskipun negara sedang dalam kondisi carut-marut, namun Ratu Sakti justru tidak mengindahkannya. Ia tidak mau memperhatikan rakyatnya yang kelaparan tetapi justru gemar berfoya-foya dan bermabuk-mabukan.

Carita Parahyangan menulis: Aja tinut de sang kawuri polah sang nata (Janganlah ditiru kelakuan raja ini oleh mereka yang kemudian menggantikan). Penilaian masyarakat Sunda terhadap rajanya pada waktu itu adalah jauh dari kata bijaksana. Jika ada permasalahan, sang Raja akan menyelesaikannya dengan cara yang represif. Tidak sedikit penduduk yang dihukum mati karena kesalahan kecil.

Pungutan pajak yang dianggap memberatkan, juga harta benda rakyat yang disita pihak keraton membuat banyak masyarakat Sunda merindukan sosok Sri Baduga Maharaja yang berlaku adil dan bijaksana.

Sikap Ratu Sakti sangat berbeda dengan Ratu Dewata yang alim, rajin puasa dan sering bertapa. Ratu Sakti adalah raja yang keras kepala dan tidak menghormati orang tua termasuk juga sering melakukan penghinaan kepada para pendeta.

Kondisi yang demikian membuat rakyat semakin muak dengan Pakuan Pajajaran dan memilih pindah ke tempat yang menurut mereka lebih adil, yaitu di bawah naungan Banten dan Cirebon. Hal ini juga yang memicu perlawanan terhadap rajanya sendiri, dan secara tidak langsung membantu penyebaran Islam di wilayah Pajajaran.

Sebenarnya saat memerintah Pajajaran, Ratu Sakti bisa saja dengan mudah menguasai kembali wilayah-wilayah Sunda yang sebelumnya dikuasai Cirebon. Hal ini karena pada saat itu, Banten dan Sunda Kalapa tengah mengalami kekosangan pasukan, karena sebagian besar pasukan dikirim untuk membantu kerajaan Demak dalam menaklukan Kerajaan Hindu di Pasuruan dan Panarukan yang menjadi basis penting kerajaan Blambangan. Namun Ratu Sakti tidak memanfaatkan kondisi tersebut karena ia lebih memilih untuk bersenang-senang menikmati kehidupan mewahnya.

Pada tahun 1551 M, Ratu Sakti diturunkan tahtanya oleh para pembesar kerajaan karena melanggar adat dan norma-norma kesusilaan terutama estri larangan, yaitu menikahi perempuan yang sudah bertunangan juga melakukan hubungan gelap dengan ibu tirinya yang tak lain adalah selir ayahnya. Konon, turunnya Ratu Sakti dilakukan dengan jalan kekerasan, bahkan setelah wafatpun ia tidak boleh dimakamkan di Pakuan tetapi di Pengpelengan.

Pajajaran pimpinan Nilakendra





Ratu Sakti digantikan oleh Nilakendra yang bertahta dari tahun 1551 M sampai 1567 M. Nilakendra disebut pula Tohaan di Majaya. Selama masa pemerintahannya, Pajajaran justru makin terpuruk. Di bawah kepemimpinannya situasi negara semakin tidak menentu dengan kondisi rakyat yang frustasi karena kelaparan.

Berbeda dari Ratu Sakti yang meski kejam dalam memimpin negara, namun ia mampu memperhatikan keamanan dan kestabilan internal di wilayah kerajaannya. Di masa Nilakendra, ia justru membangun sejumlah infrastruktur dengan segala keindahannya hanya untuk memanjakan mata.

Kondisi di dalam lingkungan istana tak kalah frustasinya dengan rakyat. Ketegangan yang mencekam karena takut musuh datang menyerang mendorong raja dan para pejabat kerajaan memperdalam aliran keagamaan Tantra.

Sekte Tantra adalah sekte keagamaan yang melakukan meditasi dengan cara menyatukan Lingga dan Yoni, artinya meditasi dilakukan dengan cara sambil berhubungan badan antara lelaki dan perempuan.

Selain itu, Nilakendra juga menyukai makanan yang mewah, meski di luar istana rakyat sedang menjerit kelaparan. Ia memperindah keraton dengan menambah tiang-tiang besar sebanyak 17 buah.

Tembok istana pun dihiasi dengan macam-macam ukiran, juga membuat taman-taman dengan jalur berbatu yang mengapit gerbang larangan. Di jalan berbatu itu, setiap beberapa meter diletakkan batu-batu berbentuk indah yang disusun sedemikian rupa sebagai bentuk persembahan. Nilakendra juga membangun rumah keramat atau bale bobot.

Nilakendra adalah orang yang sangat percaya pada jimat dan mantera-mantera. Ia bahkan membuat sebuah bendera keramat Ngibuda Sanghiyang Panji yang sangat diyakininya dapat menolak musuh. Meskipun pada akhirnya, bendera tersebut tidak ada gunanya tatkala pasukan Banten menyerang.

Pembangunan fisik istana tidak disertai dengan pengamanan yang ketat, padahal saat itu kekuatan militer Cirebon, Banten dan Demak semakin kuat. Nilakendra tidak juga melatih pasukan, yang dilakukannya justru memperbanyak jimat-jimat.

Pemerintahan Nilakendra masih satu jaman dengan Hasanudin dari Banten. Dari buku Sejarah Banten dapat disimpulkan bahwa serangan ke Pakuan tersebut dilakukan oleh Putera Mahkota Maulana Yusuf. Setelah serangan itu, Nilakendra melarikan diri ke Sukabumi Selatan sampai akhir hayatnya pada 1567 M.

Demikianlah nasib Pajajaran. Setelah ditinggalkan rajanya, Pakuan diurus oleh keluarga kerajaan dan para pejabat yang tersisa. Untunglah masih ada para prajurit yang tetap bertahan di dalam komplek keraton.


ilustrasi keraton pakuan pajajaran



Setelah serangan tersebut, para tokoh yang pernah terlibat dalam perjanjian damai Pajajaran Banten satu persatu menutup usia yaitu:
  • Susuhunan Jati yang wafat pada 19 September 1568 M.
  • Fadillah Khan, penerus Susuhunan Jati yang wafat pada tahun 1570 M.
  • Panembahan Hasanudin Banten yang wafat pada tahun 1570 M.

Pimpinan Kerajaan Pajajaran kemudian diserahkan kepada Raga Mulya yang memerintah dari tahun 1567 M sampai 1597 M. Namun sang Raja tidak menjalankan pemerintahan di Pakuan, tetapi di Pandai gelang (Pandeglang), Pulasari, Banten.



Pajajaran pimpinan Raga Mulya





Raga Mulya tahu musuh sedang menyusun siasat untuk menyerang Pakuan Pajajaran, untuk itulah ia kemudian mengumpulkan para pejabat pemerintahan lalu mengeluarkan keputusan yang antara lain adalah:

  1. Para Senapati Kerajaan harus dapat memberikan kerugian besar pada pihak musuh sebelum meninggalkan Pakuan.
  2. Prabu Ragamulya, permaisuri dan purohita keraton akan dibawa ke tempat pengasingan yang dirahasiakan untuk melakukan “Manu Raja Suniya”.
  3. Mengutus Senapati Jayaperkasa, Pancer Buana, Nangganan dan Kondang Hapa ke Sumedang Larang dengan membawa Mahkota dan benda-benda pusaka kerajaan lainnya untuk diserahkan kepada Pangeran Angka Wijaya (Prabu Geusan Ulun) sebagai penerus kerajaan Sunda.
  4. Senapati Kumbang Bagus Setra dan istrinya Putri Dewi Purnamasari dibantu Rakean Kalang Sunda akan mengecoh pasukan banten dengan menyamar sebagai raja dan melarikan diri hingga ke pantai selatan.
  5. Sebagian prajurit jagapati disiapkan di luar Pakuan untuk melindungi rombongan raja dan lainnya. Sebagian lagi ditugaskan mempertahankan purasaba secara habis-habisan agar bisa memberikan waktu bagi rombongan menjauh dari Dayeuh Pakuan.
  6. Memberi tugas kepada tiga pimpinan pasukan khusus Bareusan Pangawinan yang terdiri dari Demang Haur Tangtu, Puun Buluh Paneuh, dan Guru Alas Lintang Kendesan untuk menyelamatkan tanaman Hanjuang bodas (Cordyline furticosa) yang pernah ditanam oleh Raden Wilang Nata Dini.
  7. Sepeninggal Raga Mulya yang memilih bertahan di Pulasari, Pandeglang. Aktivitas di Pakuan berjalan seperti biasanya. Namun Pakuan sudah tidak lagi dihuni oleh Raja dan keluarganya. Keraton-keraton di Pakuan pun kini hanya ditempati oleh para pembesar yang dikawal ketat para pengawal dan prajurit setianya.


Meski Pakuan masih memiliki benteng dan parit pertahanan yang masih kokoh, namun kesolidan prajuritnya menjadikan Pakuan Pajajaran masih tetap ada.

Di Pulasari Raga Mulya Suryakencana masih tetap menjalankan pemerintahannya. Pada tahun 1578 M, Ia sempat melantik Pangeran Angkawijaya untuk memimpin Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun.

Hanya berselang satu tahun setelah Prabu Geusan Ulun dilantik menjadi Raja di Sumedang Larang, Pakuan Pajajaran runtuh oleh serangan Banten pada 1579 M.

Ada beberapa versi mengenai kabar sang Raja Penerus Pajajaran yang bertahta tanpa mahkota ini. Versi pertama menyebutkan setelah kekalahan Pajajaran, Prabu Suryakancana melakukan tapa drawa di Gunung Halimun. Sedangkan versi lain menyebutkan bahwa sang Prabu tewas di tangan pasukan Banten saat menyerang Pulasari.


Runtuhnya Kerajaan Pajajaran







Runtuhnya Kerajaan Pajajaran menurut serat Banten terjadi karena adanya penghianatan dari orang dalam Pakuan. Ia yang kemudian membuka gerbang pakuan yang berada di Lawang Gintung. Setelah pintu gerbang terbuka, pasukan Banten yang menunggu di luar gerbang mulai melancarkan serangan mendadak saat para penghuni istana sedang beristirahat.

Penjaga yang tak menyadari adanya serangan tersebut, tak sempat melakukan perlawanan. Serangan tidak hanya muncul dari arah Lawang Gintung saja, tapi datang juga dari arah lainnya. Ratusan prajurit bertempur habis-habisan menahan serangan musuh yang datang dari segala arah.

Panembahan Maulana Yusuf sepertinya telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menaklukkan Pakuan. Sedangkan dari pihak Pajajaran hanya mengandalkan prajurit yang tersisa. Alhasil pertarungan yang tidak seimbang itu menjadikan Pakuan dengan mudah dikuasai pasukan Banten.

Sepertinya Maulana yusuf tidak ingin menjadikan Pakuan sebagai bagian dari pemerintahannya. Setelah menguasai Pakuan, ia memerintahkan pasukannya untuk membumihanguskan tanah Pakuan, termasuk juga keraton-keraton yang di dalamnya penuh arca-arca peninggalan Nilakendra.

Api berkobar melahap bangunan keraton yang dahulu pernah digunakan Raja dan keluarga bercengkerama. Begitu juga dengan bangunan-bangunan lain yang dahulu digunakan sebagai barak prajurit maupun rumah-rumah pendeta yang dahulu berada di sekitar Istana Batutulis sekarang.

Pakuan Pajajaran sudah sampai pada titik terakhir, setelah Palangka Sriman Sriwacana batu persegi yang dahulu pernah digunakan untuk penobatan raja-raja Sunda dibawa ke Surasowan Banten. Dengan demikian, tidak ada lagi penobatan raja Sunda yang baru setelah peristiwa itu.

Sementara itu ..

Di bukit Gunung Gadung, Putri Purnamasari menyaksikan dari kejauhan bagaimana kobaran api menghanguskan seluruh bangunan yang ada di Pakuan. Kesedihan seketika melanda hatinya, namun kemudian ia dikejutkan oleh ucapan suaminya, Kumbang Bagusetra yang menyuruhnya untuk terus berjalan. Sementara itu, Rakean Kalang Sunda mencoba menahan kejaran serangan musuh pimpinan Jaya Antea.

Peristiwa runtuhnya Pajajaran tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :

“Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala”.

Yang artinya, Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.


Pajajaran bangkit



ilustrasi keraton pakuan pajajaran


Selama lebih dari seratus tahun lamanya, Pakuan menjadi kota yang hilang dari peradaban Nusantara. Seluruh bangunan yang terbuat dari papan dan kayu pun luluh menjadi tanah. Sisa-sisa bangunan yang ada dipenuhi oleh semak belukar dan tanaman-tanaman liar. Tidak ada lagi hiasan hiasan indah di setiap dindingnya, semua tertutup tanaman yang semakin liar merambat.

Perlahan namun pasti seluruh bangunan pun lenyap di makan waktu, menyisakan beberapa yang mungkin saja sengaja dibiarkan oleh alam untuk membuktikan bahwa di daerah tersebut dulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang megah.

Arca-arca yang dahulu terpajang indah di setiap sudut jalanan yang berbatu, tertutup lapisan tanah dari perjalanan sang waktu, menunggu ada yang mau menggalinya untuk sebuah ulasan sejarah.

Satu abad kemudian pada tahun 1687 M, Pakuan ditemukan kembali meski tidak berbekas. Seluruh bangunan istana telah hancur dimakan usia. Hanya sedikit saja yang mampu dikenali, itupun sudah menyatu dengan alam. Sedangkan sisa-sisa reruntuhan lainnya terkubur oleh tanah yang sampai saat ini masih menunggu untuk ditemukan.

Menunggu ditemukan kembali oleh mereka yang mau mencarinya …

Adapun Dayeuh Pakuan yang dahulu pernah Jaya menjadi ibukota Kerajaan Sunda kini telah berubah menjadi kota yang cepat berkembang, menjadi metropolitan yang dihuni oleh beragam suku dan bangsa.

Menjadi Bogor yang dahulu dikenal oleh orang-orang Belanda sebagai Buitenzorg.


0 Response to "Akhir Kejayaan Pakuan Pajajaran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel