Peristiwa Kudeta di Bogor

Peristiwa Kudeta di Bogor

Aksi Kudeta yang gagal

Jalannya roda pemerintahan karesidenan Bogor setelah dibentuk pertama kali pada 1945 ternyata tidaklah semulus yang diperkirakan banyak orang. Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi kudeta di Bogor dan hampir saja mendapatkan pengakuan dari pemerintah pusat.


Pemerintahan karesidenan bogor yang baru terbentuk setelah kemerdekaan Republik Indonesia, nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang diperkirakan banyak orang. hanya beberapa bulan setelah proklamasi, terjadi peristiwa kudeta di bogor yang hampir saja diakui oleh pemerintah pusat.


kudeta di bogor terjadi pada 23 desember sribusembilanratus empatpuluhlima. dalam peristiwa tersebut, para pejabat karesidenan bogor dan tentara setempat disandera oleh kelompok yang menamakan diri sebagai, laskar hitam pimpinan ki narija. kelompok ini mendapatkan dukungan dari ce mamat seorang eks komunis yang adalah orang paling dicari di banten.




Kudeta di Bogor terjadi pada 23 Desember 1945. Dalam peristiwa itu, para pejabat pemerintahan dan tentara setempat disandera oleh kelompok yang menamakan diri mereka sebagai "Laskar Hitam" pimpinan Ki Narija. Mereka mendapatkan dukungan dari Tje Mamat seorang eks komunis yang merupakan orang paling dicari di Banten. 



Tidak banyak informasi mengenai siapa Ki Narija, namun kelompok yang beranggotakan lebih dari 5.000 orang ini didirikan untuk memengaruhi rakyat di daerah Dramaga dan Ciomas yang masuk dalam wilayah karesidenan Bogor. 

Buku "Bogor Masa Revolusi 1945-1950 Jilid I" karya Edi Sudrajat menjelaskan bahwa sosok Ki Narija lebih dikenal sebagai seorang ahli hikmah yang biasa mengajarkan ilmu-ilmu kebatinan agar orang lebih berani bertarung dan kebal senjata. 


sebelum terjadinya kudeta, pada 17 oktober sribusembilanratus empatpuluhlima, ki narija mengumpulkan masa di desa petir, dramaga. dalam pertemuan akbar itu, ia berpidato tentang kondisi rakyat yang ada di bekas tanah partikelir tersebut. demi tercapai tujuannya, ki narija membentuk dewan rakyat yang diisi oleh perwakilan dari tujuh desa yang ada di wilayah dramaga.


Sebelum melakukan aksinya, pada 17 Oktober 1945 Ki Narija mengumpulkan massa rakyat di Desa Petir, Dramaga. Dalam pertemuan akbar tersebut, Ki Narija membicarakan perihal keamanan dan kemakmuran rakyat yang ada di wilayah bekas tanah partikelir itu. Untuk mencapai tujuannya, dibentuklah dewan rakyat yang diisi oleh masing-masing perwakilan dari tujuh desa di wilayah Dramaga sebagai anggota dewan. 


Dewan Rakyat bentukan Ki Narija beranggapan bahwa Residen Bogor yaitu Barnas Wiratanuningrat adalah orang yang tidak revolusioner dan harus segera dimakzulkan. Dan kesempatan untuk merebut kekuasaan muncul saat terjadinya pemindahan pemerintahan karesidenan Bogor ke daerah Dramaga.


adapun kepindahan pusat pemerintahan dari kota bogor ke dramaga terjadi usai datangnya pasukan sekutu. sekutu memberi ultimatum agar pemuda dan tentara keamanan rakyat atau tkr untuk mengosokan istana bogor yang saat itu dikuasai republik. 

ultimatum sepihak tersebut pada awalnya tidak dituruti oleh pemuda dan tkr, namun atas anjuran sutan syahrir, selalu komite nasional indonesia pusat, maka dengan sangat terpaksa tentara dan pemuda rakyat harus mengikuti perintah sekutu. 


Berpindahnya pusat pemerintahan dari kota Bogor ke Dramaga terjadi setelah kedatangan pasukan Sekutu. Sekutu mengultimatum para pemuda dan TKR yang menduduki Istana Bogor untuk segera mengosongkan istana. Ultimatum tersebut pada awalnya ditolak oleh aparat pemerintahan dan keamanan yang ada di Bogor, tetapi kemudian dengan terpaksa dituruti.

Sutan Sjahrir, ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada saat itu memerintahkan para pemuda dan TKR untuk bekerja sama dengan Sekutu. Maka seluruh pejabat pemerintahan karesidenan Bogor termasuk Residen Barnas dan keluarganya, serta Komandan Resimen II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat Letkol Husein Sastranegara dan istri mengungsi ke daerah Dramaga. Terdapat tiga ratus lima puluh empat orang pejabat pemerintahan beserta keluarganya yang diungsikan ke Dramaga dengan mendapatkan pengawalan polisi negara.  

Sementara itu, di Bogor para pejuang sebenarnya sudah bersiap untuk menghadapi Inggris dengan merencanakan taktik bumi hangus yang dimulai dari Istana Bogor. Pelaksananya adalah Pasukan Penyelidik Bangsa pimpinan A.K Jusuf. 

Pada hari yang telah ditentukan, Residen Barnas diiringi sekretarisnya berangkat menuju Istana Bogor untuk menemui A.K. Jusuf untuk memerintahkan agar gerakan bumi hangus segera dimulai. Namun ternyata, pasukan A.K. Jusuf sudah meninggalkan Istana yang selama ini menjadi markasnya. Meskipun demikian, pertempuran demi pertempuran kerap terjadi antara pasukan Sekutu dengan TKR yang dibantu laskar dan rakyat. 

Ditengah konflik antara pihak Sekutu dan Republik tersebut, Ki Narija memanfaatkan kesempatan dengan mengkudeta karesidenan Bogor yang berkantor di Dramaga. Kudeta dipimpin oleh Wargo seorang bekas tentara KNIL atau tentara kerajaan Hindia Belanda. 

Komisaris Polisi R. Enoch Danubrata yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi Karesidenan Bogor sebenarnya sudah mengetahui rencana kudeta tersebut. Ia tidak ikut mengungsi ke Dramaga melainkan tetap di markasnya di Cibalagung. Saat sedang berada di Dramaga itulah, ia mendapatkan kabar mengenai adanya orang-orang berpakaian hitam di desa-desa sekitar Dramaga.

Informasi tersebut segera ia sampaikan ke Residen Barnas dan Komandan TKR Husein Sastranegara. Beberapa hari kemudian, pasukan TKR didatangkan untuk memperkuat polisi dan situasi di sekitar karesidenan menjadi aman dan terkendali. Setelah dirasa aman, Husein menarik pasukannya untuk kembali ke pusat. Pada saat itulah, Ki Narija dan kawan-kawannya mulai melakukan aksinya. 

Pada 23 Desember 1945, Warga mendatangi Barnas dan Komisaris Polisi Enoch. Ia mengajukan tuntutan agar Residen menyerahkan kekuasaannya kepada Direktorium, yaitu sebuah pemerintahan baru yang dipimpin oleh Ki Narija yang dibantu Wargo, S. Tjipto, M. Ali, Soekandar dan Ismail Ning sebagai penasihat. 

Residen Barnas menolak karena menurutnya pejabat harus diberhentikan oleh pemerintah yang sah. Wargo terus memaksa dengan berdalih bahwa mereka melakukan hal tersebut atas nama rakyat. Rakyat yang mana? tanya Enoch namun Wargo tak menjawab dan memilih pergi. Enoch kemudian menyarankan agar Barnas pergi keluar Dramaga untuk menyelamatkan diri dengan dikawal polisi. Namun saran itu ditolak oleh Barnas yang ingin tetap bertahan di Dramaga. 

Tidak lama kemudian, Warga datang dengan sejumlah pasukan bersenjata yang sudah mengepung Dramaga. Ia mengumumkan bahwa semua pembesar sudah ditahan dan pemerintahan karesidenan sudah diganti oleh Direktorium dengan menetapkan Ki Narija sebagai Residen Bogor yang baru. Mayor Effendi ditunjuk sebagai Komandan Resimen, sementara Komisaris Enoch secara sepihak diangkat menjadi Kepala Polisi Direktorium Bogor. 

Barnas pun menuruti keinginan Warga dan mencoba menenangkan situasi agar tidak terjadi pertumpahan darah. Sedangkan Enoch berpura-pura menerima pengangkatan tersebut supaya dapat berunding dan mengakhiri kudeta, namun upayanya gagal. 

Informasi mengenai kudeta karesidenan Bogor di Dramaga telah sampai ke Komandan Batalyon II Resimen Bogor Mayor M. Toha. Ia kemudian mendatangi Ki Narija yang dikenalnya semasa pendudukan Jepang. Toha meyakinkan Ki Narija bahwa ia mendukungnya sebagai residen sehingga Toha pun diangkat sebagai Kepala Keamanan.

Ki Narija memerintahkan Toha menghabisi para pejabat pemerintahan termasuk Residen Barnas di Gunung Kapur, Ciampea. Toha pura-pura mengikuti perintah Ki Narija dan membawa seluruh pejabat yang ditahan dengan truk. Tetapi Toha tidak membawanya ke Ciampea, melainkan ke markas TKR yang ada di Bondongan, Bogor. Dia kemudian memeritahkan pasukan di Bogor untuk menangkap Ki Narija dan kawan-kawan. 

Kudeta hari kedua, Warga memberi perintah kepada Enoch untuk melaporkan persediaan senjata dan menyerahkannya kepada Direktorium. Enoch pun izin untuk menelpon markas. Walaupun mendapat kawalan saat menelpon, namun Enoch sempat memberikan pesan rahasia untuk membawa "telur" yang merupakan kata sandi untuk granat tangan.

Dibawah kawalan pasukan hitam Ki Narija, Enoch menelpon dua inspekturnya untuk segera datang ke Dramaga dengan membawa "telur" (kata sandi untuk granat tangan). Pada sore hari, kedua inspektur tersebut datang, dan mengabarkan bahwa terjadi pertempuran melawan pasukan Sekutu di kampung Sindangbarang. 

Enoch kemudian melaporkan kepada Direktorium bahwa Sekutu sudah mendekati Dramaga dan mereka harus segera melarikan diri secepat mungkin. Saran itu dituruti para petinggi Direktorium yang ketakutan untuk segera meninggalkan tempat tersebut. 

Di Dramaga hanya tersisa Enoch dan dua inspekturnya saja yang langsung tancap gas kembali ke Bogor. Sesampainya di desa Caringin, kendaraan yang ditumpanginya mogok dan kebetulan mereka berpapasan dengan rombongan Direktorium dan pasukan hitamnya. Enoch beralasan bahwa meraka harus pergi untuk mencari bantuan melawan Sekutu di Sindangbarang. Mereka bertiga pun kemudian dipersilakan untuk pergi, bahkan dipinjami mobil yang baru. 

Apa yang terjadi di Dramaga hampir saja mendapat pengakuan dari Pemerintah Pusat. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi antara Jakarta dan Bogor akibat perang, termasuk juga layanan kereta api yang sudah berhenti sejak 6 November 1945. Akan tetapi, setelah mengetahui pokok persoalannya, Pemerintah Pusat segera memberikan perintah untuk melakukan tindakan tegas atas aksi kudeta tersebut. 

Jalan Cilendek tempo dulu


Pada 25 Desember 1945 dilakukan aksi penangkapan terhadap Ki Narija dan kelompoknya. Aksi tersebut dipimpin oleh Kepala Polisi Enoch Danubrata yang dibantu Resimen Bogor dan laskar yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha (Bogor), Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri (Ciampea), Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Laskar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Laskar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tetuka pimpinan R.E Abdullah (Wedana Leuwiliang), dan Laskar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar. 

Pasukan yang terlibat dalam operasi penangkapan tersebut berjumlah 5000 orang dan 20 truk yang berisikan personil Polisi Istimewa. Operasi tersebut berhasil menangkap Ki Narija dan komplotannya yang langsung diserahkan ke TKR. Di Ciampea setelah melalui kontak senjata, mereka berhasil membebaskan para tawanan yang terdiri dari para petinggi pemerintahan dan keluarganya. 

Ki Narija ditangkap bersama dengan seorang buronan eks komunis asal Banten yang bernama Tje Mamat. Dari hasil penyelidikan diketahui bahwa aksi kudeta tersebut ternyata disponsori dan didukung oleh Tje Mamat dan pasukannya yaitu laskar Gulung Bukut (Gulkut) yang melarikan diri setelah gagal melakukan aksi kudeta di Banten. Tje Mamat dan laskarnya tertangkap pada Januari 1946 di daerah Leuwiliang oleh Laskar Rakyat pimpinan Sholeh Iskandar. 

Mereka berdua kemudian diserahkan ke Komandeman I Jawa Barat yang berada di Purwakarta untuk diproses lebih lanjut dan mendapatkan hukuman. Dengan demikian, aksi kudeta Ki Narija tersebut hanya berlangsung selama dua hari saja alias mengalami kegagalan. Setelah aksi kudeta yang gagal, pemerintahan Karesidenan Bogor kembali dipimpin oleh Residen Barnas Wiratanoeningrat .


0 Response to "Peristiwa Kudeta di Bogor"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel