Sejarah Rusa di halaman Istana Bogor

Sejarah Rusa di halaman Istana Bogor

Mengamati kehidupan rusa-rusa di halaman Istana Bogor yang bebas berkeliaran menjadi hiburan tersendiri bagi warganya. Tetapi apakah Anda tahu bagaimana ceritanya hewan mamalia itu bisa ada di sana?

Rusa di halaman Istana Bogor


Keberadaan rusa-rusa di halaman Istana Bogor sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Hewan yang memiliki nama lain chital (Axis axis) ini bukanlah satwa asli Indonesia, tetapi didatangkan dari perbatasan India dan Nepal ke Hindia Belanda pada abad ke-19.

Di Indonesia, chital dikenal dengan nama rusa tutul atau rusa totol. Salah satu yang menjadi ciri rusa ini adalah adanya bintik-bintik putih pada bagian atas tubuhnya. Sedangkan bagian tenggorokan hingga bawah perut dan ekor berwarna putih. Rusa jantan dan betina dapat dibedakan dari ukuran tinggi dan tanduk yang ada di kepalanya. Spesies ini diidentifikasi oleh seorang naturalis Jerman yang bernama Johann Christian Polycarp pada 1777.

Rusa di halaman istana Bogor dibawa oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 1814. Saat itu Bogor berada dalam pendudukan Inggris setelah mengalahkan Belanda. Raffles mempercantik halaman istana dengan mendirikan taman raya yang diisinya dengan beragam jenis tumbuhan yang didatangkannya dari benua lain.

Raffles dan rusa totol
Thomas Stamford Raffles dan Rusa totol

Selain tumbuhan, Raffles juga mendatangkan aneka spesies burung, unggas dan satwa liar untuk mempercantik halaman dan taman rayanya. Akan tetapi beberapa spesies burung dan unggas tersebut tidak berhasil bertahan hidup karena perbedaan alam dan lingkungannya.

Sedangkan 6 pasang rusa tutul yang didatangkannya dari Benua Asia Selatan ternyata mampu beradaptasi dengan lingkungan istana. Alhasil keberadaan rusa-rusa tersebut diharapkan dapat lebih menyemarakkan suasana halaman istana jika berhasil beranak-pinak.

Hanya butuh waktu beberapa bulan saja, rusa-rusa di halaman istana Bogor pun mulai bertambah. Namun sayangnya Raffles tidak sempat menyaksikan keberadaan rusa-rusa yang terus bertambah itu karena dua tahun kemudian (1816) ia harus meninggalkan Hindia Belanda setelah adanya konvensi London yang mengharuskan Inggris mengembalikan tanah jajahannya kepada Belanda.

Istana Bogor bagi Belanda dianggap sebagai “mutiara yang sempat hilang”. Setelah kembali berkuasa, pemerintah Hindia Belanda menetapkan istana Bogor sebagai kantor pemerintahan Gubernur Jenderal dari yang sebelumnya sebagai tempat peristirahatan.

Keberadaan rusa-rusa yang semakin banyak jumlahnya di halaman istana tentu menjadi hiburan tersendiri bagi para pejabat Belanda. Setiap akhir pekan, para pejabat tinggi di pemerintahan Hindia Belanda akan menghabiskan waktunya dengan berburu rusa di halaman istana.

Berburu rusa di Buitenzorg, karya J.C Rappard
Berburu rusa di Buitenzorg, karya J.C Rappard


Peninggalan Raffles yang dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda lainnya adalah taman raya. Pada saat itu pemerintahan Hindia Belanda berada dalam kondisi krisis keuangaan setelah usainya Perang Napoleon dan usai tertangkapnya Pangeran Diponegoro.

Untuk mengembalikan kondisi keuangan mereka, pemerintah kerajaan Belanda mulai menjadikan negara koloni sebagai tempat untuk membudidayakan tanaman yang laku dijual di negara-negara Eropa. Untuk itu mereka kemudian memanfaatkan Taman yang dibuat semasa Raffles ini menjadi Kebun Raya yang diisi dengan tanaman-tanaman percobaan.

Mereka juga memberikan pendidikan terutama dalam bidang pengetahuan yang berkaitan dengan tanaman pertanian dan botani kepada penduduk di tanah koloninya. Di beberapa daerah pun dibangun institusi pendidikan pertanian seperti Landbouw school di Buitenzorg, kebun percobaan di Tjikeumeuh (Cimanggu) dan laboratorium serta kebun botani di Land Plantetuin (Kebun Raya Bogor).

Sementara rusa-rusa di halaman istana Bogor dibiarkan berkembangbiak dan tidak lagi diperbolehkan untuk diburu. Akibatnya populasi rusa terus bertambah dan menjadi semakin sulit diatur. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengirimkan sebagian dari rusa-rusa tersebut ke wilayah lain termasuk ke kebun-kebun binatang yang ada di Hindia Belanda saat itu.

Beberapa ekor rusa sempat juga diberikan sebagai hadiah untuk dijadikan hewan peliharaan bagi para raja atau pembesar yang ada di daerah-daerah. Sebagian lagi dikirimkan ke hotel-hotel untuk dijadikan menu santapan istimewa yang hanya dapat dinikmati petinggi pemerintahan.

Pada masa pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 sampai 1945, rusa-rusa di halaman istana Bogor tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Para prajurit Jepang memanfaatkannya sebagai sumber makanan bagi mereka, dan hal ini justru menjadikan populasi rusa yang ada terus menurun.

Setelah kemerdekaan, Istana Bogor dikelola oleh negara dan difungsikan sebagai kantor pemerintahan bagi Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itulah, keberadaan rusa-rusa di halaman istana Bogor mulai mendapat perhatian. Untuk menjaga kesehatan dan populasinya, sebagian dari rusa-rusa tersebut dibawa ke tempat penangkaran.

Hingga kini, populasi rusa liar di halaman istana Bogor terus bertambah. Untuk saat ini saja, populasi rusa tersebut diperkirakan sudah mencapai 800 ekor yang terdiri dari beberapa kelompok kawanan yang mendiami area berumput yang ada di halaman istana.

Masyarakat Bogor hanya dapat menyaksikan rusa-rusa di halaman istana Bogor dari balik pagar istana. Tak jarang, satu atau dua ekor rusa akan datang mendekati pagar lalu meminta makanan kepada orang-orang yang lalu lalang di trotoar sekitar Istana.



0 Response to "Sejarah Rusa di halaman Istana Bogor"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel