Sejarah Bogor dari Pakuan hingga Buitenzorg

Sejarah Bogor dari Pakuan hingga Buitenzorg

Sejarah Bogor berawal dari masa Pakuan hingga dikenal dengan nama Buitenzorg. Kesejukan udara dan hujan yang turun setiap hari menjadikannya dijuluki kota hujan. Tak heran kalau petinggi Belanda sangat menyukai tempat ini lalu menamainya desa yang tenang.

Sejarah BOGOR


Sebelum orang Eropa datang ke Nusantara, Bogor pernah menjadi bagian dari wilayah kerajaan Salakanagara yang berdiri sejak abad ke-2 Masehi. Ratusan tahun kemudian berdiri Kerajaan Tarumanagara yang dibuktikan dengan banyaknya peninggalan prasasati yang ditemukan di Bogor.

Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara yang ditemukan di Bogor antara lain Prasasti Ciaruteun, Prasasti Pasir Koleangkak, Prasasati Kebon Kopi, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Muara Cianten, dan Prasasti Cidanghiang. Prasasti-prasasti tersebut dengan jelas menyebutkan nama raja yang berkuasa adalah Purnawarman.

Daerah Bogor yang berbukit menjadikan lokasi ini menjadi tempat yang tepat untuk bertahan dari ancaman serangan. Selain itu, tanahnya yang subur memunculkan banyak kerajaan lain di tempat ini, demikan menjadi awal dari asal usul sejarah Bogor yang terungkap.

Kerajaan Sunda beribukotakan di Dayeuh Pakuan (Bogor) dan kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran. Rajanya yang berkuasa saat itu adalah Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja.

Salah satu peninggalan dari Kerajaan Pajajaran yang tersisa adalah Prasasti batutulis. Prasasti ini ditemukan di Daerah Batutulis Bogor, dan dibuat oleh Prabu Surawisesa pada tahun 1533 Masehi. Isi batutulis menceritakan mengenai kejayaan Prabu Siliwangi sewaktu menjadi Raja di Pajajaran.


Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi Raja Sunda pada 3 Juni 1482, dan hari penobatannya itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bogor pada tahun 1973.

Setelah Pajajaran runtuh, dayeuh Pakuan menjadi kota yang hilang dan baru ditemukan seratus tahun kemudian oleh tim ekspedisi VOC yaitu Scipio dan Abraham van Riebeeck di tahun 1687.

Penemuan kembali bekas kerajaan Pajajaran ini mengundang ketertarikan banyak pihak untuk meneliti lebih lanjut. VOC kemudian memerintahkan Tanudjiwa untuk mulai mendirikan perkampungan baru di daerah tersebut. Sejarah Bogor berawal dari pemukiman baru yang didirikan Tanujiwa.


Kampung Baroe Cikal Bakal Sejarah BOGOR


Dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887) disebutkan bahwa Tanujiwa, seorang Sunda yang berasal dari Sumedang diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (1684-1691) untuk membentuk barisan pekerja untuk membuka hutan di Pajajaran. Di tempat itu nantinya akan dibangun sebuah perkampungan dengan nama Kampung Baru, dan kelak menjadi cikal bakal Bogor.

Dalam catatan VOC, Tanujiwa sering juga disebut sebagai Letnan Jawa (Leuitenant der Javanen). Adapun kampung baru yang pernah didirikan oleh Tanujiwa berada di daerah Cipinang, Jatinegara (Meester Cornelis), lalu di Bogor dengan nama Parung Angsana. Setelah Tanujiwa pindah dari Cipinang ke Parung Angsana itulah, ia mengganti namanya menjadi kampung Baru, dan kelak daerah itu lebih dikenal dengan nama Tanah Baru.

Pindahnya Tanujiwa dari Cipinang di Parung Angsana tidak lain adalah karena terpengaruh oleh kunjungannya beberapa waktu sebelumnya saat menemani Scipio dalam ekspedisi mencari sisa-sisa Kerajaan Pajajaran di bekas ibukota Pakuan.

Ilustrasi membuka hutan pajajaran untuk pemukiman



Agar tugasnya jadi lebih mudah, Tanujiwa kembali mendirikan beberapa perkampungan untuk pasukannya di antaranya adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng, dan Cimahpar. Parung Angsana yang telah berganti nama menjadi Kampung Baru dijadikan sebagai pusat pemerintahan bagi Tanujiwa dalam mengelola perkampungan – perkampungan yang didirikannya.

Tanujiwa adalah seorang yang paling senior dibandingkan rekan-rekannya sesama letnan. Ia juga yang menggagas pembuatan garis batas antara wilayah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang VOC saat para pengikut Pangeran Purbaya mendirikan kawasan pemukiman di daerah Cikeas.

Adapun kawasan di sekitar aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai ke Muara Beres dihuni oleh orang-orang Mataram yang enggan pulang ke daerah asalnya, karena adanya persetujuan antara Mataram dengan VOC pada tahun 1677. Sebagian besar orang-orang Mataram itu adalah pasukan Bahurekso, sedangkan sisanya adalah pasukan yang dikirim oleh Sunan Amangkurat I ke Muara Beres pada tahun 1661, setelah peristiwa pengepungan benteng Batavia.

Sebagai seorang Sunda, Tanujiwa sangat menaruk rasa hormat dan kecintaan terhadap bekas ibukota kerajaan Pajajaran. Terlebih lagi ia merupakan salah seorang keturunan Pajajaran yang tentu saja sangat mencintai tanah nenek moyangnya itu.

Perkampungan yang didirikannya pun tidak melewati batas aliran Sungai Ciliwung karena ia takut merusak dan menghilangkan situs bersejarah peninggalan nenek moyangnya. Okupansi wilayah untuk pemukiman dilakukannya hanya di sepanjang sisi utara dari Sungai Ciliwung mulai dari Tanah Baru, Bantar Jati sampai ke Ciawi dan Cisarua.

pemukiman kampung baru di buitenzorg
Pemukiman Kampung Baru tahun 1780



Tanujiwa menjadi Kepala Kampung Baru yang membawahi kampung-kampung lain yang terletak di pinggiran sungai Ciliwung. Hal ini tercantum dalam sebuah dokumen bertanggal 7 November 1701. Pada tahun 1704, Ia memerintahkan agar orang-orang Banten mengurungkan niatnya untuk menduduki Parung Banteng dan Tangkil, untuk selanjutnya ia menetapkan daerah-daerah perbatasan yang di antaranya dalah Ciluar dan Cikeas.

Mas Atje Salmoen (M.A Salmun) penah mengungkapkan dalam tulisannya di majalah Intisari terbitan pertama bahwa lagu Ayang-ayang Gung yang populer di kalangan anak-anak Sunda tempo dulu menceritakan mengenai sosok Tanujiwa yang dalam lirik lagu tersebtu disebut sebagai Menak Ki Mas Tanu.

Lagu ini banyak menceritakan kisah hidup Tanujiwa yang menjadi anak emas Kumpeni (VOC) sehingga dibenci oleh rekan-rekannya yang iri kepadanya. Tanujiwa ditunjuk oleh Camphuys menggantikan Letnan Pangirang (asal Bali) untuk membuka hutan di wilayah Selatan Batavia.

Kedekatan batin dan kecintaannya terhadap tanah kelahiran dan Pajajaran telah menyadarkan Tanujiwa. Akibatnya hubungannya dengan VOC mulai melonggar. Terlebih lagi Tanujiwa bersekutu dengan Haji Perwatasari untuk menolak perluasan daerah kekuasaan VOC.

Tanujiwa berhasil ditangkap, dan sebagai hukumannya ia dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika yang dahulu merupakan negara jajahan Belanda. Bisa dikatakan, cerita tentang Tanujiwa dengan VOC itu sangatlah mirip dengan kisah tentang Untung Suropati yang juga menjadi letnan untuk VOC.

Meski pernah menjabat sebagai kepala kampung baru, namun Tanujiwa tidak disebutkansebagai bupati pertama dalam Babad Bogor (1925). Babad tersebut hanya menyebutkan Mentangkara atau Mertakara, kepala kampung baru yang ketiga (1706-1719), yang kuat dugaan ia adalah putra dari Tanujiwa. Namun sebaliknya, penulis Belanda lebih sering menyebutkan nama Tanujiwa sebagai Bupati pertama Bogor yang pernah memerintah Kampung Baru sebagai cikal bakal BOGOR.

Sejarah Bogor berikutnya terjadi pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Gustaaf Willem Baron van Imhoff mendirikan rumah peristirahatan yang dinamakannya Palais Buitenzorg atau Istana Buitenzorg.

istana bogor
Istana Bogor di masa lalu



Dengan adanya pembangunan istana ini, kawasan Bogor mulai berkembang menjadi kota yang banyak didatangi para pendatang dari daerah lain, terutama dari Batavia (Jakarta),

Kawasan pemukiman yang semula terpisah-pisah itu kemudian digabungkan menjadi satu pemerintahan dibawah Regentschap Kampung Baroe te Buitenzorg.

Dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg digunakan untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.

Ada banyak pendapat mengenai asal usul nama Bogor, salah satunya dari Pantun Pacilong yang menyebut Bogor sebagai tunggul kawung dalam pantun “Ngadegna Dayeuh Pajajaran”.

Berikut isi pantun “Ngadegna Dayeuh Pajajaran

Tah di dinya, ku andika adegkeun eta dayeuh laju ngaranan Bogor sabab bogor teh hartina tunggul kawung
Ari tunggul kawung emang ge euweuh hartina euweuh soteh ceuk nu teu ngarti
Ari sababna, ngaran mudu Bogor sabab bogor mah dijieun suluh teu daek hurung teu melepes tapi ngelun haseupna teu mahi dipake muput
Tapi amun dijieun tetengger sanggup nungkulan windu kuat milangan mangsa
Amun kadupak matak borok nu ngadupakna moal geuwat cageur tah inyana
Amun katajong? mantak bohak nu najongna moal geuwat waras tah cokorna
Tapi, amun dijieun kekesed? sing nyaraho isukan jaga pageto bakal harudang pating kodongkang nu ngawarah si calutak
Tah kitu! ngaranan ku andika eta dayeuh, Dayeuh Bogor!


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Di tempat itu, dirikanlah olehmu sebuah kota lalu beri nama Bogor sebab bogor itu artinya pokok enau
Pokok enau itu memang tak ada artinya terutama, bagi mereka yang tidak paham
Sebabnya harus bernama Bogor? sebab bogor itu dibuat kayu bakar tak mau menyala tapi tidak padam, terus membara asapnya tak cukup untuk “muput”
Tapi kalau dijadikan penyangga rumah mampu melampaui waktu sanggup melintasi zaman
Kalau tersenggol bisa membuat luka yang menyenggolnya membuat luka yang lama sembuhnya
Kalau tertendang? bisa melukai yang mendangnya itu kaki akan lama sembuhnya
Tapi, kalau dibuat keset? Semuanya harus tahu besok atau lusa bakal bangkit berkeliaran menasehati yang tidak sopan
Begitulah beri nama olehmu itu kota, Kota Bogor


Sejarah Bogor sampai menjadi kota metropolitan penyangga ibukota dilalui dengan sejarah yang cukup panjang. Tidak hanya sebatas era kerajaan saja, tetapi juga tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan.

Bogor di tahun 1945, banyak terjadi peristiwa-peristiwa sejarah yang menjadi bukti bahwa Bogor memiliki banyak pahlawan pejuang yang berani mati demi membela harga diri bangsa dan negaranya.



0 Response to "Sejarah Bogor dari Pakuan hingga Buitenzorg"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel