
Jejak Perjuangan Kapten Tubagus Muslihat
November 22, 2023
Comment
Tubagus Muslihat nama yang sudah sangat dikenal bagi warga Kota Bogor. Sosok kelahitan Pandeglang, 26 Oktober 1926 ini gugur saat membela kehormatan bangsa dan negaranya. Jejak Perjuangannya diabadikan dalam sejarah BOGOR.
Ketika merasa terkendali, Kapten Muslihat bangkit dari persembunyiannya lalu dengan senjatanya ia menembak tentara yang sedang menggunakan senapan mesin dan tersungkurlah tentara tersebut. Suara takbir pun bergema mengiringi rentetan tembakan yang diarahkan ke arah kantor polisi dari para pejuang yang keluar dari tempat persembunyiannya.
Pada saat itulah, salah satu tembakan tentara Inggris berhasil menembus tubuh sang kapten. Tidak peduli dengan rasa sakit yang dideritanya, Kapten Muslihat terus menembakkan senjatanya ke arah pasukan musuh, sampai kemudian beberapa tembakan musuh mengenai tubuh dan membuatnya jatuh tersungkur.
Melihat hal itu, Gustiman segera menghampiri dan memeluknya, namun sang kapten menyuruh adiknya untuk menyingkir agar tidak terkena tembakan musuh. Pada saat itulah, satu peluru kembali menembus punggungnya yang membuatnya jatuh untuk kedua kalinya. Pakaiannya Kapten Muslihat yang tadinya berwarna putih kini sudah berubah menjadi merah oleh darah yang mengucur dari tubuhnya membasuh Tanah Air.
Oleh rekan – rekannya dari divisi Palang Merah, Kapten Muslihat di bawa ke rumahnya yang berada di daerah Panaragan. Dr. Marzuki Mahdi yang mengetahui sahabatnya tertembak saat berjuang segera datang untuk mencoba memberikan bantuan.
Kepada sang ayah, Kapten Muslihat berpesan bahwa uang jepang simpanannya yang berjumlah Rp.600 disumbangkan kepada para fakir miskin. Sedangan kepada kerabat dan teman-temannya ia berpesan agar terus melanjutkan perjuangan mereka, karena ia tahu bahwa suatu saat kelak Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. “Urang pasti menang, Indonesia bakal merdeka” ucapnya dalam bahasa Sunda.
Kapten Muslihat meninggal dunia di rumahnya setelah mendapatkan perawatan selama 3 hari. Wafatnya sang Kapten disaksikan oleh Dr. Marzoeki Mahdi, ayah dan istrinya, Kartinah. Oleh para pejuang, meninggalnya sang kapten dirahasikan agar tidak tersebar sampai ke tentara Inggris.
Untuk mengenang jasa perjuangannya, Jalan raya yang menjadi lokasi pertempuran itu diberi nama Jalan Kapten Muslihat dan sebuah patung pun didirikan di lokasi tersebut. Adapun seragam yang dikenakan Kapten Muslihat saat tertembak itu masih tersimpan di Museum Perjuangan Kota Bogor.
Perjuangan Kapten Tubagus Muslihat tidak hanya saat bertempur dalam merebut kantor polisi saja, tapi catatan sejarah mengungkapkan kalau beliau juga ikut dalam beberapa pertempuran yang terjadi di dalam kota maupun luar Bogor.
Salah satunya terjadi pada bulan September 1945, Kapten Muslihat yang saat itu masih brepangkat Shudanco Leptoe Muslihat bersama dengan Lasykar 33 pimpinan Harun Kabir menyerang markas Kidobutai yang ada di daerah Nanggung, Leuwiliang.
Dalam peristiwa tersebut, mereka berhasil merampas 11 ekor kuda, empat kendaraan penyedia senjata, sebuah pistol, 16 peti berisi kain merah-putih dan menawan 235 orang tentara Jepang yang kemudian diserahkan kepada BKR. Para pejuang juga berhasil memukul mundur tentara Jepang yang masih ada di sekitar lapangan Cikoleang.
Sebelum aktif dalam pergerakan mempertahankan kemerdekaan, Tubagus Muslihat mengenyam pendidikan 3 tahun di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Rangkasbitung. Setelah itu ia pindah ke Jakarta mengikuti sang ayah, Tubagus Djuhanuddin yang kala itu bertugas sebagai kepala sekolah rakyat.
Pada tahun 1940, Ia meneruskan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di jakarta yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama. Di sekolah tersebut TB Muslihat mengenyam pendidikan hanya sampai kelas 2 (dua) saja, dikarenakan keadaan zaman.
Saat berada di Bogor, Muslihat bekerja di Bosbow Proefstation atau Balai Penelitian Kehutanan yang berada di Gunung Batu, Bogor. Namun baru beberapa bulan bekerja, pecahlah perang pasifik yang ditandai dengan kedatangan tentara kekaisaran Jepang (Dai Nippon) ke Hindia Belanda.
Pada tahun 1942 ketika Balai Penelitian Kehutanan dikuasai Jepang, TB Muslihat memilih bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Kedung Halang (kini RS.PMI). Selama di Rumah Sakit itulah, beliau berkenalan dengan Dr. Marzuki Mahdi seorang pimpinan Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Kota Bogor.
Pekerjaannya sebagai juru rawat hanya dilakukan selama beberapa bulan saja karena setelah itu, ia kembali bekerja di Jawatan Kehutanan. Namun kembali ia berhenti dari pekerjaannya karena mendengar informasi tentang dibutuhkannya sukarelawan untuk direkrut sebagai tentara Pembela Tanah Air atau PETA.
Di PETA, pangkat Tubagus Muslihat adalah Shudanco atau Komandan Seksi. Di tempat ini pula ia berlatih bersama dengan Ibrahim Adjie, M.Ishak Djuarsa, Rahmat Padma, Tarmat, Soewardi, Abu Usman, Rojak, dan Boestami.
Pelatihannya di PETA hanya berlangsung sampai tahun 1945, yaitu setelah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Sebelumnya pada 14 Agustus 1945, Kota Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur akibat dijatuhkannya bom atom berkekuatan nuklir.
Tentara Jepang yang semula angkuh kepada para prajurit PETA, pada saat itu terlihat seperti bingung dan takut. Semua anggota PETA dikeluarkan dari asrama oleh Jepang setelah terlebih dahulu melucuti perlengkapan dan senjata.
Namun TB Muslihat dan kawan-kawan berhasil menyelundupkan beberapa senjata dan samurai ke luar asrama. Untuk selanjutnya mereka kemudian melanjutkan perjuangannya di BKR (Badan Keamaan Rakyat) bersama dengan organisasi pemuda lainnya seperti AMRI, API, KRIS, dan PESINDA.
BKR bertugas menjaga keamanan di dalam Kota Bogor selama masa transisi dari penguasa Jepang ke pemerintah Republik Indonesia. Bebeapa tempat-tempat strategis yang sebelumnya dikuasai Jepang berhasil direbut kembali.
Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Republik secara De Jure dan De Facto akhirnya resmi berdiri di Kota Bogor. BKR pun kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atas prakarsa Jenderal Oerip Soemohardjo. Di TKR, Tubagus Muslihat berpangkat Kapten dan bertugas sebagai komandan Kompi II Bataljon II TKR.
Sekutu masuk ke BOGOR pada awal Oktober 1945. Pada mulanya, tentara Sekutu hanya berniat mengamankan para tawanan perang saja, namun mereka ternyata membonceng juga pasukan Belanda dengan mengatasnamakan NICA atau pemerintah sipil-militer Hindia Belanda.
Pihak Sekutu dinilai melanggar perjanjian yang telah disepakati, terlebih lagi pada 24 Oktober 1945 mereka secara resmi menyerahkan penguasaan BOGOR kepada Belanda. Hal ini tentu mengundang reaksi keras dari para pejuang Republik.
Tindak tanduk Sekutu di Bogor kian membuat resah, mereka kemudian mengambil alih tangsi Batalyon XVI yang telah ditinggalkan Jepang untuk dijadikan markas mereka. Merasa sudah kuat dan berpengaruh, Sekutu mulai memperluas wilayah kekuasaannya.
Setelah berhasil mengambil alih Kota Paris dari penguasaan TKR, Sekutu berniat menduduki Istana Bogor yang saat itu sedang dijaga dan dikuasai oleh Pemuda BOGOR. Inggris ternyata lebih sombong dari Belanda, perundingan antara Inggris dan para pemuda mengalami kegagalan.
Meskipun berat hati, namun para pemuda dengan terpaksa meninggalkan istana Bogor dengan penuh sesal, terlebih lagi mereka harus menyerahkannya tanpa perlawanan sama sekali. Hal ini karena mengikuti perintah Perdana Menteri Sutan Sjahrir agar para pemuda Bogor bekerja sama dengan pihak Sekutu.
Sampai Desember 1945, Inggris telah berhasil menguasai sejumlah bangunan dan lokasi-lokasi strategis seperti Balaikota, Karesidenan Bogor, Hotel Salak, Kantor Polisi, dan Kebun Raya. Selama agresi pertama itu, di Bogor sering terjadi pertempuran di beberapa daerah yang melibatkan ratusan rakyat sipil yang turut berjuang dan bergabung dalam laskar rakyat.
Pasukan pimpinan Kapten Tubagus Muslihat tak henti-hentinya terus menyerang musuh tanpa lelah meski menggunakan senjata seadanya. Sebagai seorang Kapten, Ia harus berada di garis paling depan saat menggempur wilayah-wilayah yang dikuasai Inggris dan Belanda. Seperti memiliki firasat, Kapten Muslihat berpesan kepada ayahnya agar kelak jika anak yang dikandung istrinya telah lahir, maka berilah nama dengan nama “Merdeka”.
Pada 25 Desember 1945, Kapten Muslihat dan anak buahnya yang salah satunya adalah Gustiman, sang adik yang tanpa sepengetahuannya ikut dalam penyerangan kantor polisi di jalan dekat Stasiun Bogor. Penyerangan dimulai dari arah Jembatan Merah bergerak melewati barikade yang dipasang musuh di sekitar pintu kereta, mendekati kawasan Kebon Kembang.
Saat berada di Bogor, Muslihat bekerja di Bosbow Proefstation atau Balai Penelitian Kehutanan yang berada di Gunung Batu, Bogor. Namun baru beberapa bulan bekerja, pecahlah perang pasifik yang ditandai dengan kedatangan tentara kekaisaran Jepang (Dai Nippon) ke Hindia Belanda.
Pada tahun 1942 ketika Balai Penelitian Kehutanan dikuasai Jepang, TB Muslihat memilih bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Kedung Halang (kini RS.PMI). Selama di Rumah Sakit itulah, beliau berkenalan dengan Dr. Marzuki Mahdi seorang pimpinan Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Kota Bogor.
Pekerjaannya sebagai juru rawat hanya dilakukan selama beberapa bulan saja karena setelah itu, ia kembali bekerja di Jawatan Kehutanan. Namun kembali ia berhenti dari pekerjaannya karena mendengar informasi tentang dibutuhkannya sukarelawan untuk direkrut sebagai tentara Pembela Tanah Air atau PETA.
Di PETA, pangkat Tubagus Muslihat adalah Shudanco atau Komandan Seksi. Di tempat ini pula ia berlatih bersama dengan Ibrahim Adjie, M.Ishak Djuarsa, Rahmat Padma, Tarmat, Soewardi, Abu Usman, Rojak, dan Boestami.
Pelatihannya di PETA hanya berlangsung sampai tahun 1945, yaitu setelah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu. Sebelumnya pada 14 Agustus 1945, Kota Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur akibat dijatuhkannya bom atom berkekuatan nuklir.
Tentara Jepang yang semula angkuh kepada para prajurit PETA, pada saat itu terlihat seperti bingung dan takut. Semua anggota PETA dikeluarkan dari asrama oleh Jepang setelah terlebih dahulu melucuti perlengkapan dan senjata.
Namun TB Muslihat dan kawan-kawan berhasil menyelundupkan beberapa senjata dan samurai ke luar asrama. Untuk selanjutnya mereka kemudian melanjutkan perjuangannya di BKR (Badan Keamaan Rakyat) bersama dengan organisasi pemuda lainnya seperti AMRI, API, KRIS, dan PESINDA.
BKR bertugas menjaga keamanan di dalam Kota Bogor selama masa transisi dari penguasa Jepang ke pemerintah Republik Indonesia. Bebeapa tempat-tempat strategis yang sebelumnya dikuasai Jepang berhasil direbut kembali.
Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Republik secara De Jure dan De Facto akhirnya resmi berdiri di Kota Bogor. BKR pun kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atas prakarsa Jenderal Oerip Soemohardjo. Di TKR, Tubagus Muslihat berpangkat Kapten dan bertugas sebagai komandan Kompi II Bataljon II TKR.
Sekutu masuk ke BOGOR pada awal Oktober 1945. Pada mulanya, tentara Sekutu hanya berniat mengamankan para tawanan perang saja, namun mereka ternyata membonceng juga pasukan Belanda dengan mengatasnamakan NICA atau pemerintah sipil-militer Hindia Belanda.
Pihak Sekutu dinilai melanggar perjanjian yang telah disepakati, terlebih lagi pada 24 Oktober 1945 mereka secara resmi menyerahkan penguasaan BOGOR kepada Belanda. Hal ini tentu mengundang reaksi keras dari para pejuang Republik.
Tindak tanduk Sekutu di Bogor kian membuat resah, mereka kemudian mengambil alih tangsi Batalyon XVI yang telah ditinggalkan Jepang untuk dijadikan markas mereka. Merasa sudah kuat dan berpengaruh, Sekutu mulai memperluas wilayah kekuasaannya.
Setelah berhasil mengambil alih Kota Paris dari penguasaan TKR, Sekutu berniat menduduki Istana Bogor yang saat itu sedang dijaga dan dikuasai oleh Pemuda BOGOR. Inggris ternyata lebih sombong dari Belanda, perundingan antara Inggris dan para pemuda mengalami kegagalan.
Meskipun berat hati, namun para pemuda dengan terpaksa meninggalkan istana Bogor dengan penuh sesal, terlebih lagi mereka harus menyerahkannya tanpa perlawanan sama sekali. Hal ini karena mengikuti perintah Perdana Menteri Sutan Sjahrir agar para pemuda Bogor bekerja sama dengan pihak Sekutu.
Sampai Desember 1945, Inggris telah berhasil menguasai sejumlah bangunan dan lokasi-lokasi strategis seperti Balaikota, Karesidenan Bogor, Hotel Salak, Kantor Polisi, dan Kebun Raya. Selama agresi pertama itu, di Bogor sering terjadi pertempuran di beberapa daerah yang melibatkan ratusan rakyat sipil yang turut berjuang dan bergabung dalam laskar rakyat.
Pasukan pimpinan Kapten Tubagus Muslihat tak henti-hentinya terus menyerang musuh tanpa lelah meski menggunakan senjata seadanya. Sebagai seorang Kapten, Ia harus berada di garis paling depan saat menggempur wilayah-wilayah yang dikuasai Inggris dan Belanda. Seperti memiliki firasat, Kapten Muslihat berpesan kepada ayahnya agar kelak jika anak yang dikandung istrinya telah lahir, maka berilah nama dengan nama “Merdeka”.
Pada 25 Desember 1945, Kapten Muslihat dan anak buahnya yang salah satunya adalah Gustiman, sang adik yang tanpa sepengetahuannya ikut dalam penyerangan kantor polisi di jalan dekat Stasiun Bogor. Penyerangan dimulai dari arah Jembatan Merah bergerak melewati barikade yang dipasang musuh di sekitar pintu kereta, mendekati kawasan Kebon Kembang.
Dalam pertempuran tersebut, para pejuang berhasil menembak jatuh beberapa tentara Inggris yang bersembunyi di sekitar Toko De Zon. Kondisi inilah yang menyebabkan pertempuran berlangsung semakin sengit. Inggris membalas dengan melakukan penembakan secara bertubi-tubi ke segala arah dengan senapan mesin karena posisi pejuang saat itu sedang bersembunyi.
Ketika merasa terkendali, Kapten Muslihat bangkit dari persembunyiannya lalu dengan senjatanya ia menembak tentara yang sedang menggunakan senapan mesin dan tersungkurlah tentara tersebut. Suara takbir pun bergema mengiringi rentetan tembakan yang diarahkan ke arah kantor polisi dari para pejuang yang keluar dari tempat persembunyiannya.
Pada saat itulah, salah satu tembakan tentara Inggris berhasil menembus tubuh sang kapten. Tidak peduli dengan rasa sakit yang dideritanya, Kapten Muslihat terus menembakkan senjatanya ke arah pasukan musuh, sampai kemudian beberapa tembakan musuh mengenai tubuh dan membuatnya jatuh tersungkur.
Melihat hal itu, Gustiman segera menghampiri dan memeluknya, namun sang kapten menyuruh adiknya untuk menyingkir agar tidak terkena tembakan musuh. Pada saat itulah, satu peluru kembali menembus punggungnya yang membuatnya jatuh untuk kedua kalinya. Pakaiannya Kapten Muslihat yang tadinya berwarna putih kini sudah berubah menjadi merah oleh darah yang mengucur dari tubuhnya membasuh Tanah Air.
Oleh rekan – rekannya dari divisi Palang Merah, Kapten Muslihat di bawa ke rumahnya yang berada di daerah Panaragan. Dr. Marzuki Mahdi yang mengetahui sahabatnya tertembak saat berjuang segera datang untuk mencoba memberikan bantuan.
Kepada sang ayah, Kapten Muslihat berpesan bahwa uang jepang simpanannya yang berjumlah Rp.600 disumbangkan kepada para fakir miskin. Sedangan kepada kerabat dan teman-temannya ia berpesan agar terus melanjutkan perjuangan mereka, karena ia tahu bahwa suatu saat kelak Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. “Urang pasti menang, Indonesia bakal merdeka” ucapnya dalam bahasa Sunda.
Kapten Muslihat meninggal dunia di rumahnya setelah mendapatkan perawatan selama 3 hari. Wafatnya sang Kapten disaksikan oleh Dr. Marzoeki Mahdi, ayah dan istrinya, Kartinah. Oleh para pejuang, meninggalnya sang kapten dirahasikan agar tidak tersebar sampai ke tentara Inggris.
Untuk mengenang jasa perjuangannya, Jalan raya yang menjadi lokasi pertempuran itu diberi nama Jalan Kapten Muslihat dan sebuah patung pun didirikan di lokasi tersebut. Adapun seragam yang dikenakan Kapten Muslihat saat tertembak itu masih tersimpan di Museum Perjuangan Kota Bogor.
Perjuangan Kapten Tubagus Muslihat tidak hanya saat bertempur dalam merebut kantor polisi saja, tapi catatan sejarah mengungkapkan kalau beliau juga ikut dalam beberapa pertempuran yang terjadi di dalam kota maupun luar Bogor.
Salah satunya terjadi pada bulan September 1945, Kapten Muslihat yang saat itu masih brepangkat Shudanco Leptoe Muslihat bersama dengan Lasykar 33 pimpinan Harun Kabir menyerang markas Kidobutai yang ada di daerah Nanggung, Leuwiliang.
Dalam peristiwa tersebut, mereka berhasil merampas 11 ekor kuda, empat kendaraan penyedia senjata, sebuah pistol, 16 peti berisi kain merah-putih dan menawan 235 orang tentara Jepang yang kemudian diserahkan kepada BKR. Para pejuang juga berhasil memukul mundur tentara Jepang yang masih ada di sekitar lapangan Cikoleang.
0 Response to "Jejak Perjuangan Kapten Tubagus Muslihat"
Posting Komentar