Perkembangan Bogor dari masa ke masa

Perkembangan Bogor dari masa ke masa

Perkembangan Bogor tempo dulu sudah dimulai sejak daerah ini menjadi dayeuh atau ibukota kerajaan Sunda. Namun perjalanan Bogor sebagai kota modern sudah dimulai dari tahun 1745 sampai 1845.

Perkembangan Bogor dari masa ke masa
Perkembangan Bogor dari masa ke masa




Sejarah berdirinya Bogor tidak lepas dari didirikannya sebuah Villa pada 1745 atas prakarsa G.W Baron van Imhoff pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada awalnya, vila itu hanya sebagai rumah peristirahatan untuk menenangkan diri setelah bertugas di Batavia yang kala itu dilanda penyakit Malaria. Itu sebabnya van Imhoff memberi nama villanya sebagai Buitenzorg yang berarti desa yang tenang.

Pada saat itu, Bogor masih belum menjadi pemukiman yang terorganisir secara mandiri tetapi lebih merupakan tanah luas yang dimanfaatkan sebagai kawasan pendukung Batavia.

Perkembangan Bogor tempo dulu dan sekarang

Pada tahun 1687, Letnan Tanoedjiwa diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Johannes (1684-1691) untuk membuka kawasan hutan Pajajaran menjadi lahan pemukiman dan pertanian yang dinamakan “kampung Baroe”.

Area tersebut meliputi beberapa kampung mulai dari Parakan Panjang, Bantar Jati, Baranang Siang, Parung Banteng, Parakan Panjang, Parung Kujang, dan Cimahpar. Semua daerah tersebut berpusat di Kampung Baru.

Pada 1745, sembilan kampung yang terdiri dari Cisarua, Pondok Gedeh, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang barang, Balaoboer, Dramaga, dan Kampung baru dijadikan satu pemerintahan di bawah kekuasaan seorang demang dengan nama Regentschap Kampoeng Baroe (kelak menjadi Regentschap Buitenzorg).

Secara umum, perkembangan tata ruang di kota Bogor lebih banyak dipengaruhi oleh bisnis penjualan tanah. Van imhoff sendiri membeli sebidang tanah di Kampung Baru dan menamakannya Buitenzorg. Kelak tanah dan bangunan yang kini disebut Istana Bogor ini secara status dimiliki oleh para Gubernur Jenderal selama menjabat.

Adapun lahan-lahan di sekitar Istana sejak kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels (1811-1816) dijadikan tanah-tanah partikelir yang dijualbelikan atau disewakan sehingga hampir seluruh tanah yang ada di Buitenzorg ini dimiliki oleh orang pribadi maupun swasta.

Tanah-tanah partikelir ini dikelola oleh Demang atau mandor yang ditunjuk langsung oleh si tuan tanah. Sistem partikelir terjadi karena tidak adanya kekuasaan dari para priyayi maupun orang-orang pribumi lokal untuk bisa memiliki tanah seperti yang ada di daerah-daerah lainnya. Pada saat itu, Bogor ibarat pulau-pulau kecil yang digabungkan oleh satu kekuasaan besar yaitu Villa Buitenzorg.

Bentuk Istana Buitenzorg sendiri telah beberapa kali mengalami perubahan sesuai suksesi kepemimpinan Gubernur Jenderal. Di era Jacob Mossel vila Buitenzorg dibangun kembali sebagai sebuah istana dan menamakannya Pallais Buitenzorg pada 1759-1761.

Setelah itu, Willem Arnold Alting (1780-1796) memutuskan untuk menjadikan bangunan istana menjadi kantor resmi Gubernur Jenderal VOC. Kantor kediaman Gubernur jenderal ini menjadi lebih penting setelah Algemeene Secretarie (Sekretaris Jenderal) didirikan di dekat Istana pada 1888.

Keberadaan kebun raya yang awalnya hanya difungsikan sebagai “halaman belakang” istana, diresmikan menjadi Kebun Raya (Hortus Botanicus Bogoriensis) pada tahun 1887 oleh Prof. Dr. C.G.C reinwardt salah seorang botanis Jerman.

Wijkenstelsel dan tata ruang kota

Seperti juga kebanyakan kota-kota yang diduduki kolonial, Bogor atau Buitenzorg menjadi konsentrasi bagi 3 etnik yaitu Eropa, Cina, dan Pribumi. Zona pemukiman untuk orang-orang Eropa biasanya ditandai dengan adanya gedung-gedung pemerintahan lengkap dengan fasilitasnya serta beberapa bangunan komersial. Meskipun jumlah penduduk saat itu masih kecil, tapi zona untuk orang-orang Eropa memiliki kawasan yang lebih luas.

Kawasan handelstraat (perniagaan) yang menjadi zona pemukiman untuk etnis Tionghoa, sekarang jalan Suryakencana
Handelstraat yang menjadi zona pemukiman untuk etnis Tionghoa



Zona kawasan pemukiman Eropa di Bogor tempo dulu dapat ditemukan di dekat Istana dan gedung-gedung Institusi di sepanjang Jalan Ahmad Yani, Jalan Ir Juanda, Jalan Jalak Harupat, Sempur, Ciwaringin, dan Kotaparis.

Untuk menunjang aktivitas masyarakat Eropa beberapa bangunan yang memiliki fungsi penting pun mulai bermunculan seperti Hotel, Kantor Residen, Sekolah, Gereja, dan Societeit.

Di dalam kota Bogor sendiri terdapat tiga hotel yang cukup terkenal pada masanya yaitu Hotel Bellevue yang memiliki pemandangan Sungai Cisadane dengan latar Gunung Salak, Hotel Dibbets yang kerap digunakan untuk rapat atau pertemuan para pengusaha maupun petinggi hindia belanda, juga Hotel du Chemin de fer yang memiliki pemandangan indah berupa Taman kota yang terletak di seberang Stasiun Bogor.

Hotel Du chemin di Bogor tahun 1857
Hotel Du chemin di Bogor tahun 1857




Selain tiga hotel tersebut, di Bogor masih ada beberapa hotel maupun wisma yang juga sering dikunjungi seperti Hotel Pasar Baroe, Hotel Buitenzorg, dll.

Perkembangan berikutnya menjadikan Bogor sebagai pusat penelitian tanaman yang ditandai dengan bermunculannya lembaga-lembaga penelitian pertanian, perhutanan dan ternak. Sampai saat ini, keberadaan bangunan-bangunan tersebut masih tetap dilestarikan seperti di FKH Taman kencana, Balitbangtan di Jalan Merdeka, Balitvet, Balitro, dsb.

Zona pemukiman untuk etnis Cina disebut sebagai Pecinan. Di Bogor kawasan ini terletak di pinggiran jalan Suryakancana yang merupakan bagian dari Jalan Raya Pos buatan Daendels. Zona pemukiman ini berawal dari klenteng Hok Tek Bio yang sudah berdiri sejak 1867 dan Pasar Bogor yang berdiri sejak 1872.

Kawasan ini dipenuhi rumah toko yang rapat memanjang hingga ke arah Gunung Gede atau Pangrango dan diapit oleh dua buah Sungai yaitu Sungai Ciliwung di bagian Timur dan Sungai Cipakancilan di bagian baratnya.

Jalan Suryakancana dahulu bernama Handelstraat atau Jalan Perniagaan yang mencirikan fungsinya sebagai pusat ekonomi kota. Di zona ini etnis Tionghoa juga terkotak-kotak dalam kelas sosial dan menempati hunian sesuai kelas mereka. Setelah dihapusnya Wijkenstelsel pada tahun 1915, kaum etnis Tionghoa kemudian membaur dengan masyarakat Pribumi lokal.

Demang Wiranata (1749-1758) mengajukan permintaan kepada Gubernur Jenderal untuk membuka lahan Di Sukahati. Setelah itu, mulailah pembangunan di area Empang dengan adanya alun-alun, pusat pemerintahan, dan masjid. Kawasan ini kemudian berkembang sebagai zona pemukiman untuk pribumi dan Arab.

Bogor di masa kini

Jalan Raya depan Istana Bogor tahun 1969
Jalan Raya depan Istana Bogor tahun 1969



Pada masa Orde Baru, Bogor masuk dalam perencanaan Jabotabek sebagai kawasan metropolitan terpadu. Daerah ini memiliki peranan sebagai penyangga ibukota dalam hal pemukiman penduduk, juga sebagai daerah resapan dan cadangan air bersih.

Perencanaan tata ruang di Bogor dimulai pada 1970an dengan dibangunnya jalan lingkar luar di sebelah timur Bogor, kemudian dihubungkan dengan Jakarta lewat jalan tol Jagorawi pada tahun 1980. Kawasan yang terdapat di sekitar lingkar luar ini dikembangkan menjadi area perumahan yang semakin pesat menjamur mulai dari Perumnas Bantarjati, Bantarkemang, Perum Bogor Baru, hingga kawasan perumahan elit di Villa Duta.

Memasuki era 1990, daerah yang terletak di utara Bogor dikembangkan juga sebagai daerah pemukiman baru seperti Cimanggu yang memiliki akses ke Jakarta melalui Jalan Baru.


Bogor kini berkembang tidak sebagai penyangga ibukota saja tetapi sudah menjadi Kota Metropolitan yang sebagian besar lahan-lahannya dikuasai oleh perumahan, perkantoran, dan area ekonomi dan bisnis


0 Response to "Perkembangan Bogor dari masa ke masa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel