Padrao: Gagalnya koalisi Kerajaan Sunda dan Portugis

Padrao: Gagalnya koalisi Kerajaan Sunda dan Portugis

Padrao adalah batu prasasti yang sudah ada sejak kerajaan Sunda masih berdiri. Padrao ditemukan secara tidak sengaja oleh para pekerja yang sedang menggali pondasi untuk gudang di Batavia tahun 1918. Prasasati ini menjadi bukti gagalnya koalisi kerajaan Sunda dan Portugis dalam menjaga pelabuhan Sunda Kelapa.

Padrao: Gagalnya koalisi Kerajaan Sunda dan Portugis


Sebelum Padrao dipancangkan di Sunda Kalapa, hubungan antara kerajaan Sunda dengan Portugis sebenarnya sudah terjadi sejak masa Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja (1481-1521M). Pada saat itu kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan (Bogor) kian terdesak oleh kekuatan Islam di Pulau Jawa.

Pada tahun 1512, Sri Baduga Maharaja mengirimkan putranya Surawisesa ke Malaka untuk bertemu Portugis. Malaka pada saat itu masih menjadi koloni atau jajahan Portugis. Maksud pangeran Sunda datang ke Malaka adalah untuk merundingkan kerjasama dagang. Di Malaka, Surawisesa disambut oleh Alfonso d’Albouqerque.

Kedatangan Surawisesa mendapatkan kunjungan balik dari Tome Pires yang pada tahun 1513 berkunjung ke wilayah kerajaan Sunda. Catatan perjalanan Tome Pires itu dilaporkan dalam Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins.

Pada 1521, utusan kerajaan Sunda kembali datang ke Malaka untuk membicarakan kerjasama dan koalisi Kerajaan Sunda dan Portugis. Dalam buku Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (Saleh Danasasmita:2015) menyebutkan bahwa utusan Sunda yang datang ke Malaka tahun 1521 adalah Red e Zunda atau Raja Sunda.

Prasasti Padrao perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis



Jika melihat tahun sejarah, Surawisesa pada tahun 1512 masih seorang putra mahkota atau Pangeran dari kerajaan Sunda. Catatan Portugis menyebutnya sebagai Ratu Samiam atau Sanghyang. Saat berkunjung ke Malaka, Surawisesa belum berkedudukan sebagai raja Sunda.

Pada tahun 1521, catatan Portugis menyebut kunjungan ke Malaka dilakukan oleh Raja Sunda yang kemungkinan besar dilakukan oleh sri Baduga Maharaja itu sendiri. Kunjungan ke dua ini mendapat tanggapan serius dari pihak Portugis yang langsung mengirim utusannya satu tahun kemudian.


Seperti diketahui Sri Baduga Maharaja Wafat pada Desember 1521 M dan dilanjutkan oleh Surawisesa sebagai satu-satunya putra mahkota yang ada di Kerajaan Sunda. Saudara lain ibunya Walangsungsang lebih memilih untuk memerintah di Nagari Cirebon.


Karena tertarik dengan apa yang ditawarkan pihak kerajaan Sunda, pada tahun 1522 Portugis mengirimkan Henrique de Leme untuk menemui Surawisesa yang saat itu sudah menjadi Raja Sunda.

Kapal São Sebastião milik Portugis bersandar di pelabuhan Sunda Kalapa pada Agustus 1522. Kapal itu membawa barang-barang berharga untuk dipersembahkan sebagai hadiah kepada sang raja Sunda. Dalam kunjungannya ke ibukota kerajaan Sunda di Pakuan, pihak Portugis mendatangkan Kapten Henrique de Leme dan Jorge de Albuquerque serta beberapa orang pembantunya.

Perjanjian Sunda Portugis 1522
Perjanjian Sunda Portugis 1522



Perundingan itu menghasilkan perjanjian kerjasama yang diabadikan dalam tugu prasasti, Padrao. Isi perjanjian bersifat internasional dengan naskah yang dibuat dua rangkap. Masing-masing rangkap dipegang oleh Kerajaan Sunda dan Portugis. Portugis kemudian memancangkan prasasti Padrao di dekat Pelabuhan Sunda Kalapa sebagai penanda batas bahwa di daerah itu akan segera didirikan benteng.

Secara garis besar, isi perjanjian tersebut menjelaskan bahwa:
  • Pihak Sunda setiap tahunnya akan memberikan 1.000 karung lada kepada Portugis untuk ditukarkan dengan barang kebutuhan maupun senjata.
  • Portugis mendapatkan izin untuk membangun benteng di Sunda Kalapa.
  • Portugis dan Kerajaan Sunda harus bekerjasama jika sewaktu-waktu mendapat serangan dari Demak.

Perjanjian koalisi Kerajaan Sunda dan Portugis itu ditandatangani oleh pihak Sunda yang diwakili oleh Raja Surawisesa dan tiga pembantu utamanya yaitu Mantri Dalem, Tumenggung Adipati, dan Syahbandar. Sedangkan dari pihak Portugis diwakili oleh Fernando de Almeida, Francisco Anes, Manuel Mendes, Joao Coutinho, Gil Barboza, Francicso Diaz, dan lain-lain.

Setelah perjanjian kerjasama itu, Portugis tidak serta merta membantu Kerajaan Sunda. Selama empat belas tahun berkuasa di tanah Sunda, Surawisesa harus menghadapi lima belas kali pertempuran dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya. Puncaknya terjadi pada tahun 1526, Sunda Kelapa berhasil dikuasai pasukan gabungan Demak dan Cirebon.

Pihak Portugis mendengar kabar mengenai penyerangan tersebut, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena pada saat itu seluruh pasukan yang ada di Malaka sedang dikerahkan menuju Goa, India. Portugis baru mengirimkan kapal perangnya beberapa waktu kemudian, namun sudah terlambat karena pelabuhan Sunda Kalapa sudah berpindah kekuasaan. Portugis pun dengan mudah diusir dari Sunda Kalapa dan kembali ke Malaka dengan membawa kerugian yang sangat besar.

Pertempuran di Sunda Kalapa 1527 | koleksi Museum Nasional Republik Indonesia
Pertempuran di Sunda Kalapa 1527 



Kunjungan Raja Sunda ke Malaka yang dilanjutkan dengan perjanjian kerjasama dengan Portugis membawa kecemasan bagi Trenggana, Sultan Demak III. Ia khawatir jika Portugis akan menguasai juga selat Sunda yang dapat mengancam jalur perdagangan Demak yang selama ini menjadi .

Dalam peristiwa penyerbuan Sunda Kalapa itu, para pimpinan yang bertugas di pelabuhan kalapa dan keluarganya tewas dibantai, begitu pun para menteri yang bertugas di pelabuhan dan para pekerjanya. Setelah peristiwa berdarah itu, pelabuhan Sunda Kalapa dikuasai, sedangkan pasukan bantuan dari Kerajaan Sunda berhasil dipukul mundur.

Sementara itu, pihak Portugis yang sudah terikat perjanjian dengan Kerajaan Sunda mencoba mengirimkan bantuan. Tapi terlambat, karena Fransisce de Sa yang selama ini bertugas mendirikan benteng di Kalapa keburu diangkat menjadi Gubernur Goa di India, sehingga pendirian benteng menjadi terhambat. Di India, enam buah kapal sudah disiapkan untuk membantu Sunda, tapi kapal-kapal tersebut kemudian ditinggalkan karena diterpa badai dahsyat di Teluk Benggala.

Untuk membantu Sunda maka disiapkan kapal dari Malaka, namun karena Banten saat itu sudah dikuasai oleh Banten, maka Portugis langsung menuju ke Pelabuhan Kalapa, tapi sialnya, karena terlalu dekat dengan pinggir pantai, kapal mereka langsung remuk oleh armada Fadillah Khan.

Sejak saat itulah, Padrao menjadi sebuah batu prasasti yang menjadi bukti gagalnya koalisi kerajaan Sunda dan Portugis. Seiring terbenamnya kekuasaan kerajaan Sunda di Jawa Barat, semakin terbenam pula batu prasasti itu lebih jauh ke dalam tanah. 

Sampai tahun 1918, para pekerja yang sedang menggali tanah untuk pondasi bangunan gudang di Batavia menemukannya lalu melaporkannya kepada otoritas setempat.



0 Response to "Padrao: Gagalnya koalisi Kerajaan Sunda dan Portugis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel