
Kisah van Motman sang tuan tanah dari Dramaga
Oktober 03, 2023
Comment
Berlokasi di Desa Sibanteng, Leuwisadeng Kabupaten Bogor kompleks makam keluarga van Motman menjadi salah satu benda cagar budaya warisan jaman kolonial.
Di dalam kubah, jasad tidak dikuburkan di dalam tanah tetapi disimpan dalam kotak kaca yang bisa terlihat jelas dari luarnya. Keberadaan makam seperti ini tidak akan ditemukan di daerah lain di Indonesia, dan pemerintah daerah Kabupaten Bogor harusnya dapat melestarikannya. Sayangnya kubah tersebut kini tersisa bangunannya saja, sedangkan makamnya sudah lenyap bak di telan bumi.
Sampai tahun 1965, keberadaan jasad empat anggota keluarga van Motman ini masih bisa dilihat dalam kotak kaca di dalam kubah Mausoleum. Dengan arsitektur yang sangat indah menggunakan ubin dan marmer untuk batu nisan dan makamnya, pantaslah kita menjuluki komplek makam ini sebagai tempat beristirahat nan mewah untuk para mendiang.
Biografi singkat Van Motman
Van Motman adalah nama keluarga atau marga dari seorang yang bernama Gerrit Willem Casimir van Motman pria kelahiran Genneperhuis pada tanggal 11 Januari 1773. Saat masih kecil, sebagian besar keluarganya telah meninggal dunia karena wabah Tuberkolosis yang menyerang Eropa saat itu.
Pada usia 17 tahun, G.W.C van Motman memulai karirnya di V.O.C sebagai administrator gudang VOC. Pada saat itu, Belanda sedang diinvasi oleh Perancis sehingga van Motman kemudian pindah ke Batavia.
Di Hindia Belanda, van Motman membeli sebidang tanah di Buitenzorg. Setelah VOC bangkrut, van Motman pindah ke Buitenzorg (Bogor) dan menjadi tuan tanah di sana dengan asset kepemilikan tanah yang sangat luas meliputi Kota dan Kabupaten Bogor pada waktu itu.
Di Nangoeng, van Motman memiliki hak atas tanah seluas 12.596 hektar pada tahun 1808, belum lagi tanah-tanah lain yang ada di wilayah Bogor yang luasnya jika ditotalkan adalah 117.099 hektar.
Pada waktu itu, sang tuan tanah menguasai daerah Semplak, Kedoeng Badak, Roempin, Tjikoleang, Trogong, Dramaga, TJiampea, Djamboe, Nangoeng, Bolang, Djasinga, Pondok Gedeh, Pasir Langkap, dan Rosa di Gunung Preanger. Begitu pun dengan yang di daerah Tjikandei Ilir dan Tjikandi Oedik di Bantam. Sang tuan tanah memanfaatkan lahannya untuk dijadikan area perkebunan khususnya kopi, teh, kina, karet, dan tebu.
Di Buitenzorg, van Motman membangun rumah di daerah Dramaga yang disebut Groot Dramaga karena ukurannya yang sangat luas. Rumah ini memiliki 20 kamar dengan interior yang sangat indah. Lantainya menggunakan marmer putih dengan dinding yang bercat putih.
Halamannya cukup luas dengan pemandangan dipenuhi oleh pohon buah-buahan. Ada juga tugu lonceng dan kolam besar yang di pinggirannya terdapat air mengalir dengan curah yang besar. Sebuah bangunan di samping halaman menyimpan beberapa ekor kuda-kuda berukuran besar dan kecil (poni) juga kereta-kereta kuda yang sering digunakannya untuk perjalanan.
Pada jaman dahulu, Dramaga sangat terkenal dengan perkebunan kopinya yang dikenal Liberia-Koffie-aanplantingen. Kopi adalah tanaman yang pertama kali dibudidayakan oleh van Motman sejak kedatangannya ke Buitenzorg. Setelah dianggap tidak memberikan keuntungan lagi, tanaman kopi digantikan dengan teh. wabah lalat hitam merusak produksi teh miliknya, sehingga ia pun menggantinya dengan pohon-pohon karet.
Rumah peristirahatan lain di bangun di daerah Djamboe, di sini ia juga membuka lahan perkebunannya miliknya. Di rumah Djamboe ini juga empat orang anak-anaknya terlahir dari kurun waktu 1811 s/d 1814.
Peralihan fungsi dari perkebunan menjadi pemakaman terjadi setelah tahun 1811, yaitu saat puterinya yang bernama Maria Henrietta van Motman meninggal dunia pada Desember 1811, lalu delapan dari 12 orang anak van Motman yang wafat karena wabah penyakit juga ikut dimakamkan di area ini.
Dari kedelapan anaknya, sebagian besar mereka yang dimakamkan di sini rata-rata berusia di bawah lima tahun atau masih balita. Sedangkan orang dewasa adalah Petrus Cornelis yang meninggal dalam usia tua (82 tahun). Pembangunan Mausoleum dengan makam kaca dilakukannya untuk mengenang keluarganya yang meninggal. Di dalam kubah ini disimpan jenazah dari para anggota keluarga yang sangat disayanginya.
Selain putera-puterinya, cucu dan kedua mertua van Motman ikut juga dimakamkan di komplek makam keluarga ini. Cucu yang berusia lima tahun yang memiliki nama sama dengan kakeknya ini dimakamkan pada 2 September 1831. Puterinya yang lain yang juga istri Petrus Cornelis dimakamkan pada 14 Agustus 1877, yang lainnya adalah istri dari Jan Casimir Theodorus van Motman yaitu Johanna Maria Louise Quentin dimakamkan pada 13 September 1855 dalam usia 27 tahun.
Pada tahun 1970-an, ada sekitar 33 makam yang berada di sekitara kubah Mausoleum. Namun belum diketahui pasti siapa saja yang mereka dimakamkan di area ini apakah termasuk bagian dari kerabat, keluarga, atau orang di luaran mereka.
Ironisnya makam sang tuan tanah G.W.C van Motman sendiri masih belum diketahui secara pasti lokasinya. Di area pemakaman keluarga ini tidak ada nisan yang secara gamblang menuliskan namanya. Ada juga yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tanggal 25 Mei 1821 di Dramaga lalu dimakamkan di Djasinga.
Komplek pemakaman van Motman berada di lahan seluas 3.300 m² yang dikelilingi oleh pilar dengan jalan tembusan sepanjang 300 meter dan lebar 3 meter. Ada dua buah pilar yang berdiri kokoh di pinggran jalannya yang berfungsi sebagai pintu gerbang. Keberadaan pilar inilah yang menjadi cikal bakal penyebutan kampung Pilar.
Mausoleum van Motman yang tak lagi megah
Kubah makam keluarga van Motman memiliki arsitektur dengan gaya khas Eropa. Bentuk bangunan menghadap arah utara-selatan dengan pintu masuk dari arah selatan. Pada masa lalu terdapat sebuah pintu keluar masuk ke dalamnya, tapi kini gerbang masuk tersebut menjadi tempat terbuka berukuran 2×1,5 meter dengan tulisan di atasnya FAM:P.R.v MOTMAN.
Di dalam ruangan ini terdapat kamar di sisi timur dan barat yang terbagi menjadi dua lantai. Di sinilah seharusnya terdapat mumi dari empat anggota keluarga van motman yang meninggal. Tapi kini hanya menyisakan gagang besinya saja.
Selama 30 tahun komplek pemakaman ini tidak terurus sampai akhirnya muncul berbagai penjarahan terhadap benda-benda yang ada di area makam mulai dari batu marmer, nisan, perhiasan, hingga kotak-kotak kaca yang ada di dalam kubah Mausoleum, termasuk juga jenasah-jenasah yang ikut hilang dicuri.
Komplek pemakaman ini tidak seperti pemakaman umum lainnya, karena di dalamnya terdapat sebuah kubah besar yang didirikan sang tuan tanah van Motman untuk menyimpan jasad anggota keluarganya.
Di dalam kubah, jasad tidak dikuburkan di dalam tanah tetapi disimpan dalam kotak kaca yang bisa terlihat jelas dari luarnya. Keberadaan makam seperti ini tidak akan ditemukan di daerah lain di Indonesia, dan pemerintah daerah Kabupaten Bogor harusnya dapat melestarikannya. Sayangnya kubah tersebut kini tersisa bangunannya saja, sedangkan makamnya sudah lenyap bak di telan bumi.
Sampai tahun 1965, keberadaan jasad empat anggota keluarga van Motman ini masih bisa dilihat dalam kotak kaca di dalam kubah Mausoleum. Dengan arsitektur yang sangat indah menggunakan ubin dan marmer untuk batu nisan dan makamnya, pantaslah kita menjuluki komplek makam ini sebagai tempat beristirahat nan mewah untuk para mendiang.
Biografi singkat Van Motman
Van Motman adalah nama keluarga atau marga dari seorang yang bernama Gerrit Willem Casimir van Motman pria kelahiran Genneperhuis pada tanggal 11 Januari 1773. Saat masih kecil, sebagian besar keluarganya telah meninggal dunia karena wabah Tuberkolosis yang menyerang Eropa saat itu.
Pada usia 17 tahun, G.W.C van Motman memulai karirnya di V.O.C sebagai administrator gudang VOC. Pada saat itu, Belanda sedang diinvasi oleh Perancis sehingga van Motman kemudian pindah ke Batavia.
Di Hindia Belanda, van Motman membeli sebidang tanah di Buitenzorg. Setelah VOC bangkrut, van Motman pindah ke Buitenzorg (Bogor) dan menjadi tuan tanah di sana dengan asset kepemilikan tanah yang sangat luas meliputi Kota dan Kabupaten Bogor pada waktu itu.
Di Nangoeng, van Motman memiliki hak atas tanah seluas 12.596 hektar pada tahun 1808, belum lagi tanah-tanah lain yang ada di wilayah Bogor yang luasnya jika ditotalkan adalah 117.099 hektar.
Pada waktu itu, sang tuan tanah menguasai daerah Semplak, Kedoeng Badak, Roempin, Tjikoleang, Trogong, Dramaga, TJiampea, Djamboe, Nangoeng, Bolang, Djasinga, Pondok Gedeh, Pasir Langkap, dan Rosa di Gunung Preanger. Begitu pun dengan yang di daerah Tjikandei Ilir dan Tjikandi Oedik di Bantam. Sang tuan tanah memanfaatkan lahannya untuk dijadikan area perkebunan khususnya kopi, teh, kina, karet, dan tebu.
Di Buitenzorg, van Motman membangun rumah di daerah Dramaga yang disebut Groot Dramaga karena ukurannya yang sangat luas. Rumah ini memiliki 20 kamar dengan interior yang sangat indah. Lantainya menggunakan marmer putih dengan dinding yang bercat putih.
Halamannya cukup luas dengan pemandangan dipenuhi oleh pohon buah-buahan. Ada juga tugu lonceng dan kolam besar yang di pinggirannya terdapat air mengalir dengan curah yang besar. Sebuah bangunan di samping halaman menyimpan beberapa ekor kuda-kuda berukuran besar dan kecil (poni) juga kereta-kereta kuda yang sering digunakannya untuk perjalanan.
Seiring berjalannya waktu, bentuk rumah Dramaga van Motman ini sudah berubah karena beberapa kali mengalami renovasi sesuai fungsinya. Hanya tersisa bagian langit-langit dan pintu-pintu yang tinggi yang menunjukkan bahwa bangunan ini adalah peninggalan kolonial.
Pada jaman dahulu, Dramaga sangat terkenal dengan perkebunan kopinya yang dikenal Liberia-Koffie-aanplantingen. Kopi adalah tanaman yang pertama kali dibudidayakan oleh van Motman sejak kedatangannya ke Buitenzorg. Setelah dianggap tidak memberikan keuntungan lagi, tanaman kopi digantikan dengan teh. wabah lalat hitam merusak produksi teh miliknya, sehingga ia pun menggantinya dengan pohon-pohon karet.
Rumah peristirahatan lain di bangun di daerah Djamboe, di sini ia juga membuka lahan perkebunannya miliknya. Di rumah Djamboe ini juga empat orang anak-anaknya terlahir dari kurun waktu 1811 s/d 1814.
Peralihan fungsi dari perkebunan menjadi pemakaman terjadi setelah tahun 1811, yaitu saat puterinya yang bernama Maria Henrietta van Motman meninggal dunia pada Desember 1811, lalu delapan dari 12 orang anak van Motman yang wafat karena wabah penyakit juga ikut dimakamkan di area ini.
Dari kedelapan anaknya, sebagian besar mereka yang dimakamkan di sini rata-rata berusia di bawah lima tahun atau masih balita. Sedangkan orang dewasa adalah Petrus Cornelis yang meninggal dalam usia tua (82 tahun). Pembangunan Mausoleum dengan makam kaca dilakukannya untuk mengenang keluarganya yang meninggal. Di dalam kubah ini disimpan jenazah dari para anggota keluarga yang sangat disayanginya.
Selain putera-puterinya, cucu dan kedua mertua van Motman ikut juga dimakamkan di komplek makam keluarga ini. Cucu yang berusia lima tahun yang memiliki nama sama dengan kakeknya ini dimakamkan pada 2 September 1831. Puterinya yang lain yang juga istri Petrus Cornelis dimakamkan pada 14 Agustus 1877, yang lainnya adalah istri dari Jan Casimir Theodorus van Motman yaitu Johanna Maria Louise Quentin dimakamkan pada 13 September 1855 dalam usia 27 tahun.
Pada tahun 1970-an, ada sekitar 33 makam yang berada di sekitara kubah Mausoleum. Namun belum diketahui pasti siapa saja yang mereka dimakamkan di area ini apakah termasuk bagian dari kerabat, keluarga, atau orang di luaran mereka.
Ironisnya makam sang tuan tanah G.W.C van Motman sendiri masih belum diketahui secara pasti lokasinya. Di area pemakaman keluarga ini tidak ada nisan yang secara gamblang menuliskan namanya. Ada juga yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tanggal 25 Mei 1821 di Dramaga lalu dimakamkan di Djasinga.
Komplek pemakaman van Motman berada di lahan seluas 3.300 m² yang dikelilingi oleh pilar dengan jalan tembusan sepanjang 300 meter dan lebar 3 meter. Ada dua buah pilar yang berdiri kokoh di pinggran jalannya yang berfungsi sebagai pintu gerbang. Keberadaan pilar inilah yang menjadi cikal bakal penyebutan kampung Pilar.
Mausoleum van Motman yang tak lagi megah
Kubah makam keluarga van Motman memiliki arsitektur dengan gaya khas Eropa. Bentuk bangunan menghadap arah utara-selatan dengan pintu masuk dari arah selatan. Pada masa lalu terdapat sebuah pintu keluar masuk ke dalamnya, tapi kini gerbang masuk tersebut menjadi tempat terbuka berukuran 2×1,5 meter dengan tulisan di atasnya FAM:P.R.v MOTMAN.
Di bagian atasnya terdapat lubang angin berbentuk kotak dengan hiasan berbentuk setengah melingkar. Di bagian atas bangunan terdapat kubah segi delapan berdiameter 1,5 meter.
Di dalam ruangan ini terdapat kamar di sisi timur dan barat yang terbagi menjadi dua lantai. Di sinilah seharusnya terdapat mumi dari empat anggota keluarga van motman yang meninggal. Tapi kini hanya menyisakan gagang besinya saja.
Selama 30 tahun komplek pemakaman ini tidak terurus sampai akhirnya muncul berbagai penjarahan terhadap benda-benda yang ada di area makam mulai dari batu marmer, nisan, perhiasan, hingga kotak-kotak kaca yang ada di dalam kubah Mausoleum, termasuk juga jenasah-jenasah yang ikut hilang dicuri.
0 Response to "Kisah van Motman sang tuan tanah dari Dramaga"
Posting Komentar