
Bogor : masa setelah kemerdekaan
Oktober 27, 2023
Comment
Indonesia memang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, tetapi faktanya kemerdekaan tersebut tidak serta merta didapatkan. Kedatangan Sekutu yang membonceng Belanda mengubah sejarah perjalanan bangsa ini. Masa-masa setelah kemerdekaan menjadi puncak perjuangan dalam merebut kembali kemerdekaan.
Kekalahan Jepang oleh pihak Sekutu menjadikan para serdadu yang berasal dari negeri sakura ini harus segera hengkang dari tanah jajahannya di Hindia Belanda. Untuk mengamankan situasi, Sekutu mengirimkan pasukan Inggris untuk mengurusi tawanan perang Jepang dan Belanda di Indonesia.
Namun kedatangan Inggris ternyata dibonceng pihak lain yang ingin merebut kembali tanah Nusantara dari pemerintahan Republik Indonesia yang sudah berdaulat. Belanda datang kembali dengan berkedok NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Agresi militer inilah yang kemudian memicu ketegangan di berbagai daerah di Indonesia.
Oleh orang-orang Belanda, masa-masa setelah kemerdekaan disebut sebagai masa bersiap. Sedangkan bagi kaum nasionalis, masa-masa tersebut dikenal sebagai masa perjuangan merebut kembali kemerdekaan. Itu sebabnya, peperangan yang terjadi di masa itu dikenal dengan Perang Kemerdekaan.
Masa bersiap digambarkan sebagai masa penuh kengerian, terlebih bagi orang-orang keturunan Belanda yang masih bermukim di Indonesia. Selama periode yang berlangsung dari September 1945 s/d Januari 1946 itu dipenuhi dengan aksi kekacauan seperti penjarahan, perampokan hingga pembunuhan yang digambarkan sebagai Revolusi Sosial.
Pada 20 Agustus 1945, Bogor Shuchokan berhasil dikuasai para pejuang. Pada hari yang sama pula diadakan rapat yang dihadiri para pejuang, pemuda, dan pemimpin rakyat. Rapat tersebut antara lain membahas penyusunan pemerintahan baru Bogor. Hasilnya, R. Ijok Mohamad Sirodz diangkat menjadi Residen Bogor.
Pertemuan itupun mengangkat para pemimpin untuk wilayah Karesidenan Bogor seperti R.A.A Surjadjanegara yang menjabat sebagai Bupati Bogor, R. Soekardi menjabat Bupati Sukabumi dan Cianjur serta R. Odang Prawiradirja selaku pejabat Wali Kota Bogor.
Bulan Oktober 1945 menjadi awal terjadinya kekacauan di wilayah Bogor. Terlebih pada bulan ini pula, kekuasaan atas Bogor diberikan oleh pasukan Sekutu kepada Belanda yang ditandai dengan dipasangkannya emblem Divisi 7 Desember di Tugu Pilar Witte Paal.
Aksi kekerasan di Bogor
Banyak peristiwa kekerasan terjadi pada bulan ini, mulai dari penculikan hingga pembunuhan masal terhadap orang-orang Eropa. Aksi tersebut dilakukan oleh para pendukung Republik yang melampiaskan emosinya secara berlebihan kepada orang-orang Belanda dan keturunannya. Pada saat itu, dua kamp intemiran didirikan di Bogor dan Depok.
Peristiwa kekacauan di Depok terjadi pada 10 – 11 Oktober 1945. Pada saat itu, sekitar 400 orang datang ke Depok dengan menggunakan berbagai sarana angkutan mulai dari kereta api, truk hingga gerobak sapi maupun delman.
Dalam suasana yang mencekam itu, orang-orang Belanda yang tinggal di Depok meminta bantuan pasukan Sekutu yang berada di Jakarta. Namun karena tidak ada perintah resmi, pihak Sekutu tidak berkenan memberikan bantuan pasukan. Akibatnya aksi kekerasan dan pengusiran pun terjadi di beberapa wilayah di Depok. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Gedoran Depok”.
Aksi kekerasan dan pengusiran yang terjadi di Depok ternyata berlanjut sampai ke Bogor. Pada 11-12 Oktober 1945, orang-orang Belanda di Bogor dibangunkan dari tidur malam mereka lalu dibawa ke sel tua di penjara Paledang oleh para pemuda BKR dan Pelopor.
Peristiwa itu disaksikan pula oleh Ketua Palang Merah Internasional Mr. W.A.P.C Pennink yang ikut tertangkap dan diberondong pertanyaan di Markas BKR. Ia ditanya mengenai tujuan Palang Merah Internasional di Bogor dan apakah ia adalah agen NICA.
Penjara Paledang pada saat itu memiliki kapasitas 300 orang saja, namun ketika peristiwa itu terjadi terdapat lebih dari 1.200 tawanan yang berasal dari Bogor dan Depok. Alhasil, kapasitas ruangan maupun sel menjadi penuh sesak oleh tawanan yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda dan Eropa.
Pada akhir Oktober 1945, tentara Inggris menawarkan kerja sama dengan kepala penjara untuk memindahkan tawanan dari penjara Paledang ke Kamp pengungsian yang saat itu berada di Ursulinenklooster yang pernah digunakan sebagai kantor Shuchokan untuk menampung tawanan wanita dan anak-anak, sedangkan para pria dipindahkan ke Kamp 14 Bataljon di Pabaton dan Kamp Kota Paris.
Kemarahan para pemuda dilampiaskan kepada tentara Jepang. Di Pondokgedeh, Cigombong dekat Ciawi terjadi penyerbuan pemuda terhadap kamp tawanan Jepang yang menewaskan 41 penghuninya termasuk Letnan Kolonel Kawagishi. Mayat mereka ditemukan dalam sebuah kuburan masal di dekat lokasi tersebut.
Perjuangan Rakyat Bogor paska kemerdekaan
Setelah aksi kekerasan terhadap orang-orang Belanda dan Jepang, aksi serupa terjadi kepada orang-orang Republik yang dianggap pengganggu keamanan Bogor termasuk mereka yang dianggap penghianat.
Pada 10 November 1945 bertepatan dengan perjuangan arek-arek Surabaya yang bertempur mati-matian melawan Inggris, di Bogor terjadi perburuan terhadap Pak Oente yang dilakukan para pemuda BKR. Pak Oente adalah orang yang sering berbuat onar dan kerusakan di daerah Dramaga dan juga dianggap sebagai kaki tangan NICA.
Selain itu, sepanjang Oktober s/d November 1945, konflik antara pasukan Inggris yang dibantu Gurkha dan NICA dengan pejuang Bogor pun kerap terjadi. Pada 8 Desember 1945, Inggris mengultimatum puluhan pemuda pimpinan A.K Yusuf yang menduduki Istana Bogor agar segera keluar dan menyerahkan istana kepada mereka.
Ultimatum sepihak tersebut ditolak oleh pemerintah dan pihak keamanan RI. Kendati demikian, mereka harus terpaksa meninggalkan Istana atas perintah Sutan Sjahrir yang menyarankan agar bekerja sama dengan Inggris maupun Sekutu. Pada saat itulah, para petinggi pemerintah RI di Bogor dipindahkan ke Dramaga dengan pengawalan yang sangat ketat.
Setelah Istana Bogor diduduki Inggris dan Belanda, mereka makin memperluas wilayah kekuasaannya. Kali ini bengkel mobil de Vries di Panaragan dan Pabrik ban Goodyear di Tanah Saral diduduki mereka. Begitu pun dengan bangunan-bangunan strategis lainnya seperti Balaikota Bogor, Hotel Salak, Rumah Sakit tentara, Tangsi Militer di Pabaton, Kantor Polisi di dekat Stasiun Bogor, dan Ursulinenklosster.
Selama bulan Desember 1945, aksi sewenang-wenang tentara Belanda dan Inggris terus terjadi di berbagai wilayah di Bogor. Mereka tak segan-segan melakukan aksi penggeledahan untuk mencari kaum republik yang mereka sebut sebagai pemberontak. Bahkan mereka juga akan menembaki dan membakar rumah penduduk jika tidak mau bekerja sama.
Operasi penggeledahan dan pembakaran rumah tersebut terjadi di wilayah Panaragan Kidul, Gang Kepatihan, Gunung Batu dan Lebak. Hal yang sama juga terjadi di wilayah lainnya seperti Ciluar, Ciawi, Cijeruk, Sindangbarang, Cikereteg, Cinangneng, Pagentongan, Cibarusah, dan Depok.
Untuk meredakan situasi yang kian memanas itu, Mayor Jenderal Abdul Kadir selaku Panglima Komandeman I Jawa Barat bersama ajudannya Kapten A.J Mokoginta, datang ke Bogor untuk melakukan perundingan dengan Inggris. Hasil negosiasi menjelaskan bahwa TKR wajib keluar dari Bogor demi lancarnya proses pemindahan tentara Jepang & tawanan perang lainnya yg akan melewati Bogor.
Kudeta pemerintahan Karesidenan Bogor
Untuk sementara waktu, jalannya roda pemerintahan Karesiden Bogor dilangsungkan di daerah Dramaga. Namun terjadi kudeta yang dilakukan oleh gerombolan pemberontak pimpinan Ki Narija yang didukung Laskar Gulung Bukut (Gulkut) pimpinan Tje Mamat. Dalam peristiwa kudeta itu, mereka menangkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan kepala Polisi R. Enoh Danubrata lalu mencopot jabatannya. Setelah itu, mengangkat orang-orang dari kelompoknya sebagai pejabat pemerintahan karesidenan Bogor.
Aksi kudeta tersebut nyaris mendapatkan pengakuan dari pemerintahan Republik Indonesia yang berada di pusat. Hal itu karena kurangnya informasi mengenai perkembangan sosial politik yang terjadi di Bogor dan sekitarnya. Namun setelah mendapatkan laporan dari pihak berwenang dari Bogor. Mereka memerintahkan pimpinan TKR Bogor segera menindak tegas Ki Narija dan komplotannya.
Batalyon gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, dan Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, juga Polisi Istimewa Pimpinan Muharam Wiranatakusuma, Laskar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Laskar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tetuka pimpinan R.E Abdullah, dan Laskar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasi mengepung dan menangkap Ki Naria dan kawan-kawannya di daerah Dramaga.
Sementara itu Tje Mamat yang kabur ke daerah Leuwilian berhasil ditangkap beberapa hari kemudian oleh Laskar Leuwiliang yang dipimpin Sholeh Iskandar. Mereka kemudian dikirimkan ke Komandeman I Jawa Barat di Purwakarta.
Pertempuran di Bogor
Pertempuran demi pertempuran terjadi di Bogor dan sekitarnya sepanjang bulan Desember 1945. Pada pagi hari tanggal 25 Desember, pasukan pejuang pimpinan Kapten Muslihat menyerang kantor Polisi yang berkedudukan di Jalan Banten (kini Jalan Kapten Muslihat) di dekat Kebon Kembang dan Stasiun Bogor. Dalam peristiwa itu, Kapten Muslihat gugur terkena beberapa tembakan.
Pada awal tahun 1946, jalannya pemerintahan di Bogor berangsur-angsur pulih, terutama setelah diberantasnya semua aksi-aksi pemberontakan oleh Polisi dan TKR. Pada waktu yang bersamaan, tentara Belanda kian memperkuat pertahanannya. Beberapa tembok dilubangi untuk dipasangi mitralyur atau senapan otomatis untuk menghalau para pejuang.
Penjagaan super ketat diberlakukan di tempat-tempat strategis termasuk di sekitar Istana dan Kebun Raya Bogor, maupun di pintu-pintu masuk dalam kota seperti di Kedung badak, Kedung Halang, Ciburial dan sekitarnya. Kawat-kawat listrik bertegangan tinggi dipasang di pagar sekitar Kebun Raya dan Istana Bogor.
Tentara Gurkha pun semakin intensif melakukan penggeladahan rumah-rumah rakyat yang berujung dengan kekerasan seperti penjarahan, penembakan rakyat yang tidak bersalah juga pemerkosaan. Hal ini terus terjadi di berbagai wilayah di Bogor selama masa konflik.
Kondisi ini memicu aksi protes dari Residen dan pemerintahan Bogor. Mereka mengajukan tuntutan yang isinya antara lain menyuruh Gurkha dan kaum Indo menyerahkan senjata yang mereka jarah, membebaskan orang-orang yang diculik, mengembalikan barang-barang hasil jarahan dan menyuruh Gurkha meninggalkan Kebun Raya demi keamanan.
Selain tokoh-tokoh pejuang yang disebutkan di atas, masih ada pejuang Bogor yang kiprahnya tidak diragukan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan seperti Gatot Mangkupraja, Doeloe Abdoelah, Kaprawi, Tidjan Bin H. Syairin, Abin Sarbini, R.H. Abdullah bin Nuh, dan lain lainnya.
![]() |
Bogor : masa setelah kemerdekaan |
Kekalahan Jepang oleh pihak Sekutu menjadikan para serdadu yang berasal dari negeri sakura ini harus segera hengkang dari tanah jajahannya di Hindia Belanda. Untuk mengamankan situasi, Sekutu mengirimkan pasukan Inggris untuk mengurusi tawanan perang Jepang dan Belanda di Indonesia.
Namun kedatangan Inggris ternyata dibonceng pihak lain yang ingin merebut kembali tanah Nusantara dari pemerintahan Republik Indonesia yang sudah berdaulat. Belanda datang kembali dengan berkedok NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Agresi militer inilah yang kemudian memicu ketegangan di berbagai daerah di Indonesia.
Oleh orang-orang Belanda, masa-masa setelah kemerdekaan disebut sebagai masa bersiap. Sedangkan bagi kaum nasionalis, masa-masa tersebut dikenal sebagai masa perjuangan merebut kembali kemerdekaan. Itu sebabnya, peperangan yang terjadi di masa itu dikenal dengan Perang Kemerdekaan.
Masa bersiap digambarkan sebagai masa penuh kengerian, terlebih bagi orang-orang keturunan Belanda yang masih bermukim di Indonesia. Selama periode yang berlangsung dari September 1945 s/d Januari 1946 itu dipenuhi dengan aksi kekacauan seperti penjarahan, perampokan hingga pembunuhan yang digambarkan sebagai Revolusi Sosial.
Munculnya aksi-aksi tersebut tak lain adalah karena adanya kekosongan kekuasaan atau Vacum of Power. Karena tidak ada yang mengawasi ataupun mengontrol situasi dan kondisi pada saat itu kekacauan semakin melebar ke berbagai daerah. Apalagi pemerintahan Indonesia baru saja berdiri dan masih dalam kondisi yang lemah.
Kondisi Bogor saat dibacakan teks Proklamasi
Berita mengenai Sukarno dan Hatta yang memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia di Pegangsaan Timur pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945 telah sampai ke Bogor pada siang harinya. Berita tersebut menyebar dari mulut ke mulut, juga melalui siaran-siaran radio umum yang sengaja diletakkan di tempat strategis.
Akan tetapi kehidupan masyarakat Bogor setelah kemerdekaan ternyata tidak semulus yang mereka perkirakan. Setelah mengetahui Indonesia telah merdeka, muncul kebingungan di kalangan masyarakat mengenai siapa yang lebih berhak melanjutkan pemerintahan di Bogor. Apakah dari pegawai negeri yang ditunjuk Jepang atau Belanda, atau mereka dapat memilih pemimpinnya sendiri.
Dalam kondisi status quo inilah yang kemudian memicu aksi kekerasan, kekacauan, penjarahan dan pembunuhan di beberapa daerah. Sebelum pemerintahan di Bogor dibentuk, para pemuda dan pejuang di Karesidenan Bogor merasa harus merebut kekuasaan wilayah terlebih dulu dari tangan Jepang.
Peristiwa ini terjadi pada 19 Agustus 1945, pada saat itu para pejuang pimpinan R. Ijok Mohamad Sirodz meminta militer Jepang menyerahkan gedung Bogor Shuchokan (Karesidenan Bogor) dan mereka meminta bendera Merah Putih dikibarkan menggantikan bendera jepang. Keinginan itupun dituruti pihak Jepang walaupun mereka sebenarnya tidak pernah menganggap Republik Indonesia sudah merdeka. Dalam pikiran orang-orang Jepang itu, Indonesia sudah menjadi milik Sekutu sang pemenang perang.Gedung Karesidenan
Kondisi Bogor saat dibacakan teks Proklamasi
Berita mengenai Sukarno dan Hatta yang memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia di Pegangsaan Timur pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945 telah sampai ke Bogor pada siang harinya. Berita tersebut menyebar dari mulut ke mulut, juga melalui siaran-siaran radio umum yang sengaja diletakkan di tempat strategis.
Akan tetapi kehidupan masyarakat Bogor setelah kemerdekaan ternyata tidak semulus yang mereka perkirakan. Setelah mengetahui Indonesia telah merdeka, muncul kebingungan di kalangan masyarakat mengenai siapa yang lebih berhak melanjutkan pemerintahan di Bogor. Apakah dari pegawai negeri yang ditunjuk Jepang atau Belanda, atau mereka dapat memilih pemimpinnya sendiri.
Dalam kondisi status quo inilah yang kemudian memicu aksi kekerasan, kekacauan, penjarahan dan pembunuhan di beberapa daerah. Sebelum pemerintahan di Bogor dibentuk, para pemuda dan pejuang di Karesidenan Bogor merasa harus merebut kekuasaan wilayah terlebih dulu dari tangan Jepang.
Peristiwa ini terjadi pada 19 Agustus 1945, pada saat itu para pejuang pimpinan R. Ijok Mohamad Sirodz meminta militer Jepang menyerahkan gedung Bogor Shuchokan (Karesidenan Bogor) dan mereka meminta bendera Merah Putih dikibarkan menggantikan bendera jepang. Keinginan itupun dituruti pihak Jepang walaupun mereka sebenarnya tidak pernah menganggap Republik Indonesia sudah merdeka. Dalam pikiran orang-orang Jepang itu, Indonesia sudah menjadi milik Sekutu sang pemenang perang.Gedung Karesidenan
![]() |
Gedung Karesidenan Bogor tahun 1946 |
Pada 20 Agustus 1945, Bogor Shuchokan berhasil dikuasai para pejuang. Pada hari yang sama pula diadakan rapat yang dihadiri para pejuang, pemuda, dan pemimpin rakyat. Rapat tersebut antara lain membahas penyusunan pemerintahan baru Bogor. Hasilnya, R. Ijok Mohamad Sirodz diangkat menjadi Residen Bogor.
Pertemuan itupun mengangkat para pemimpin untuk wilayah Karesidenan Bogor seperti R.A.A Surjadjanegara yang menjabat sebagai Bupati Bogor, R. Soekardi menjabat Bupati Sukabumi dan Cianjur serta R. Odang Prawiradirja selaku pejabat Wali Kota Bogor.
Bulan Oktober 1945 menjadi awal terjadinya kekacauan di wilayah Bogor. Terlebih pada bulan ini pula, kekuasaan atas Bogor diberikan oleh pasukan Sekutu kepada Belanda yang ditandai dengan dipasangkannya emblem Divisi 7 Desember di Tugu Pilar Witte Paal.
Aksi kekerasan di Bogor
Banyak peristiwa kekerasan terjadi pada bulan ini, mulai dari penculikan hingga pembunuhan masal terhadap orang-orang Eropa. Aksi tersebut dilakukan oleh para pendukung Republik yang melampiaskan emosinya secara berlebihan kepada orang-orang Belanda dan keturunannya. Pada saat itu, dua kamp intemiran didirikan di Bogor dan Depok.
Peristiwa kekacauan di Depok terjadi pada 10 – 11 Oktober 1945. Pada saat itu, sekitar 400 orang datang ke Depok dengan menggunakan berbagai sarana angkutan mulai dari kereta api, truk hingga gerobak sapi maupun delman.
Dalam suasana yang mencekam itu, orang-orang Belanda yang tinggal di Depok meminta bantuan pasukan Sekutu yang berada di Jakarta. Namun karena tidak ada perintah resmi, pihak Sekutu tidak berkenan memberikan bantuan pasukan. Akibatnya aksi kekerasan dan pengusiran pun terjadi di beberapa wilayah di Depok. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Gedoran Depok”.
Aksi kekerasan dan pengusiran yang terjadi di Depok ternyata berlanjut sampai ke Bogor. Pada 11-12 Oktober 1945, orang-orang Belanda di Bogor dibangunkan dari tidur malam mereka lalu dibawa ke sel tua di penjara Paledang oleh para pemuda BKR dan Pelopor.
Peristiwa itu disaksikan pula oleh Ketua Palang Merah Internasional Mr. W.A.P.C Pennink yang ikut tertangkap dan diberondong pertanyaan di Markas BKR. Ia ditanya mengenai tujuan Palang Merah Internasional di Bogor dan apakah ia adalah agen NICA.
Penjara Paledang pada saat itu memiliki kapasitas 300 orang saja, namun ketika peristiwa itu terjadi terdapat lebih dari 1.200 tawanan yang berasal dari Bogor dan Depok. Alhasil, kapasitas ruangan maupun sel menjadi penuh sesak oleh tawanan yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda dan Eropa.
Pada akhir Oktober 1945, tentara Inggris menawarkan kerja sama dengan kepala penjara untuk memindahkan tawanan dari penjara Paledang ke Kamp pengungsian yang saat itu berada di Ursulinenklooster yang pernah digunakan sebagai kantor Shuchokan untuk menampung tawanan wanita dan anak-anak, sedangkan para pria dipindahkan ke Kamp 14 Bataljon di Pabaton dan Kamp Kota Paris.
Kemarahan para pemuda dilampiaskan kepada tentara Jepang. Di Pondokgedeh, Cigombong dekat Ciawi terjadi penyerbuan pemuda terhadap kamp tawanan Jepang yang menewaskan 41 penghuninya termasuk Letnan Kolonel Kawagishi. Mayat mereka ditemukan dalam sebuah kuburan masal di dekat lokasi tersebut.
Perjuangan Rakyat Bogor paska kemerdekaan
Setelah aksi kekerasan terhadap orang-orang Belanda dan Jepang, aksi serupa terjadi kepada orang-orang Republik yang dianggap pengganggu keamanan Bogor termasuk mereka yang dianggap penghianat.
Pada 10 November 1945 bertepatan dengan perjuangan arek-arek Surabaya yang bertempur mati-matian melawan Inggris, di Bogor terjadi perburuan terhadap Pak Oente yang dilakukan para pemuda BKR. Pak Oente adalah orang yang sering berbuat onar dan kerusakan di daerah Dramaga dan juga dianggap sebagai kaki tangan NICA.
Selain itu, sepanjang Oktober s/d November 1945, konflik antara pasukan Inggris yang dibantu Gurkha dan NICA dengan pejuang Bogor pun kerap terjadi. Pada 8 Desember 1945, Inggris mengultimatum puluhan pemuda pimpinan A.K Yusuf yang menduduki Istana Bogor agar segera keluar dan menyerahkan istana kepada mereka.
Ultimatum sepihak tersebut ditolak oleh pemerintah dan pihak keamanan RI. Kendati demikian, mereka harus terpaksa meninggalkan Istana atas perintah Sutan Sjahrir yang menyarankan agar bekerja sama dengan Inggris maupun Sekutu. Pada saat itulah, para petinggi pemerintah RI di Bogor dipindahkan ke Dramaga dengan pengawalan yang sangat ketat.
Setelah Istana Bogor diduduki Inggris dan Belanda, mereka makin memperluas wilayah kekuasaannya. Kali ini bengkel mobil de Vries di Panaragan dan Pabrik ban Goodyear di Tanah Saral diduduki mereka. Begitu pun dengan bangunan-bangunan strategis lainnya seperti Balaikota Bogor, Hotel Salak, Rumah Sakit tentara, Tangsi Militer di Pabaton, Kantor Polisi di dekat Stasiun Bogor, dan Ursulinenklosster.
Pecahnya perang antara Sekutu dan Pejuang Republik juga terjadi di luar Kota Bogor. Di Bojongkokosan Sukabumi pada tanggal 9 Desember 1945 terjadi peristiwa penghadangan terhadap iring-iringan pasukan Sekutu yang akan menuju Bandung. Serangan itu membuat musuh kalang kabut, yang lantas membalasnya dengan melakukan pengeboman di daerah Cibadak pada 10 Desember 1945.
Selama bulan Desember 1945, aksi sewenang-wenang tentara Belanda dan Inggris terus terjadi di berbagai wilayah di Bogor. Mereka tak segan-segan melakukan aksi penggeledahan untuk mencari kaum republik yang mereka sebut sebagai pemberontak. Bahkan mereka juga akan menembaki dan membakar rumah penduduk jika tidak mau bekerja sama.
Operasi penggeledahan dan pembakaran rumah tersebut terjadi di wilayah Panaragan Kidul, Gang Kepatihan, Gunung Batu dan Lebak. Hal yang sama juga terjadi di wilayah lainnya seperti Ciluar, Ciawi, Cijeruk, Sindangbarang, Cikereteg, Cinangneng, Pagentongan, Cibarusah, dan Depok.
Untuk meredakan situasi yang kian memanas itu, Mayor Jenderal Abdul Kadir selaku Panglima Komandeman I Jawa Barat bersama ajudannya Kapten A.J Mokoginta, datang ke Bogor untuk melakukan perundingan dengan Inggris. Hasil negosiasi menjelaskan bahwa TKR wajib keluar dari Bogor demi lancarnya proses pemindahan tentara Jepang & tawanan perang lainnya yg akan melewati Bogor.
Hanya polisi negara dan polisi tentara yang masih diperbolehkan berada di Bogor untuk berpatroli bersama Polisi Militer Serikat. Sejak saat itulah, Inggris dan Belanda mulai menganggap kelompok bersenjata di Bogor adalah para pemberontak atau kaum ekstrimis yang harus dibasmi.
Kudeta pemerintahan Karesidenan Bogor
Untuk sementara waktu, jalannya roda pemerintahan Karesiden Bogor dilangsungkan di daerah Dramaga. Namun terjadi kudeta yang dilakukan oleh gerombolan pemberontak pimpinan Ki Narija yang didukung Laskar Gulung Bukut (Gulkut) pimpinan Tje Mamat. Dalam peristiwa kudeta itu, mereka menangkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan kepala Polisi R. Enoh Danubrata lalu mencopot jabatannya. Setelah itu, mengangkat orang-orang dari kelompoknya sebagai pejabat pemerintahan karesidenan Bogor.
Aksi kudeta tersebut nyaris mendapatkan pengakuan dari pemerintahan Republik Indonesia yang berada di pusat. Hal itu karena kurangnya informasi mengenai perkembangan sosial politik yang terjadi di Bogor dan sekitarnya. Namun setelah mendapatkan laporan dari pihak berwenang dari Bogor. Mereka memerintahkan pimpinan TKR Bogor segera menindak tegas Ki Narija dan komplotannya.
Batalyon gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, dan Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, juga Polisi Istimewa Pimpinan Muharam Wiranatakusuma, Laskar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Laskar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tetuka pimpinan R.E Abdullah, dan Laskar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasi mengepung dan menangkap Ki Naria dan kawan-kawannya di daerah Dramaga.
Sementara itu Tje Mamat yang kabur ke daerah Leuwilian berhasil ditangkap beberapa hari kemudian oleh Laskar Leuwiliang yang dipimpin Sholeh Iskandar. Mereka kemudian dikirimkan ke Komandeman I Jawa Barat di Purwakarta.
Pertempuran di Bogor
Pertempuran demi pertempuran terjadi di Bogor dan sekitarnya sepanjang bulan Desember 1945. Pada pagi hari tanggal 25 Desember, pasukan pejuang pimpinan Kapten Muslihat menyerang kantor Polisi yang berkedudukan di Jalan Banten (kini Jalan Kapten Muslihat) di dekat Kebon Kembang dan Stasiun Bogor. Dalam peristiwa itu, Kapten Muslihat gugur terkena beberapa tembakan.
Pada awal tahun 1946, jalannya pemerintahan di Bogor berangsur-angsur pulih, terutama setelah diberantasnya semua aksi-aksi pemberontakan oleh Polisi dan TKR. Pada waktu yang bersamaan, tentara Belanda kian memperkuat pertahanannya. Beberapa tembok dilubangi untuk dipasangi mitralyur atau senapan otomatis untuk menghalau para pejuang.
Penjagaan super ketat diberlakukan di tempat-tempat strategis termasuk di sekitar Istana dan Kebun Raya Bogor, maupun di pintu-pintu masuk dalam kota seperti di Kedung badak, Kedung Halang, Ciburial dan sekitarnya. Kawat-kawat listrik bertegangan tinggi dipasang di pagar sekitar Kebun Raya dan Istana Bogor.
Tentara Gurkha pun semakin intensif melakukan penggeladahan rumah-rumah rakyat yang berujung dengan kekerasan seperti penjarahan, penembakan rakyat yang tidak bersalah juga pemerkosaan. Hal ini terus terjadi di berbagai wilayah di Bogor selama masa konflik.
Kondisi ini memicu aksi protes dari Residen dan pemerintahan Bogor. Mereka mengajukan tuntutan yang isinya antara lain menyuruh Gurkha dan kaum Indo menyerahkan senjata yang mereka jarah, membebaskan orang-orang yang diculik, mengembalikan barang-barang hasil jarahan dan menyuruh Gurkha meninggalkan Kebun Raya demi keamanan.
Selain tokoh-tokoh pejuang yang disebutkan di atas, masih ada pejuang Bogor yang kiprahnya tidak diragukan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan seperti Gatot Mangkupraja, Doeloe Abdoelah, Kaprawi, Tidjan Bin H. Syairin, Abin Sarbini, R.H. Abdullah bin Nuh, dan lain lainnya.
0 Response to "Bogor : masa setelah kemerdekaan"
Posting Komentar